Menghubungkan Delphi dengan database Acces

Kali ini Kantin Kampus akan membahas bagaimana cara menghubungkan Delphi dengan Database acces, tapi sebelumnya anda harus mengatahui cara membuat database menggunakan Microsoft Office Acces. Bila teman-teman belum mengatahui caranya, sebaiknya teman-teman Kantin Kampus wajibkan membaca postingan Kantin Kampus ini, Membuat Database menggunakan Microsoft Office Access 2007

Adapun Langkah -langkahnya ?
1. Install Delphi 7 kemudian Open
2. Buat Form seperti gambar di bawah ini
3. Komponen yang di Gunakan :
ADO Connection Ada Di Pallete ADO
ADOTable Ada di Pallete ADO
DataSource Ada di Pallete Data Acces
DBNavigator Ada di Pallete Data Control
DBGrid Ada di Pallete Data Control
Button Ada di Pallete standar
Label Ada di Pallete standar
4. Atur Object Inspector seperti ini
5. Untuk komponen Button : name = butun1 & caption = keluar
label : name = label1 & caption = Nama- nama Fans Club Sepak bola
6. Pada AdoConnection Properties pilih connection string kemudian klik akan muncul tampilan seperti ini
7. Apabila semua langkah - langkah sudah anda cek kebenarannya, hasilnya seperti ini
8 Kemudian klik Run (F9) untuk menjalankannya liat hasilnya
9. Berhasil, Selamat mencoba



Read More...

Membuat Database menggunakan Microsoft Office Access 2007

Di sini Kantin Kampus akan menshare bagaimana cara membuat database menggunakan Microsoft Office Access 2007. sebelumnya, taukah anda, apa itu Database ? adalah kumpulan informasi yang disimpan di dalam komputer secara sistematik sehingga dapat diperiksa menggunakan suatu program komputer untuk memperoleh informasi dari basis data tersebut.

Langkah-langkah Membuat Database menggunakan Microsoft Office Access 2007
1. Pastikan ms office sudah anda install
2. Pilih Ms access 2007
3. Setelah anda open Ms access tadi, pilih blink database
4. kemudia akan tampil tampilan
5. Kemudian buka file name tadi seperti gambar di atas, akan muncul form lagi
buat folder kemudian pilih format file(mdb). karena nantinya kita akan menghubungkan access dengan Delphi(Postingan selanjutnya). setalah sudah di pilih tinggal klik ok
6. Pilih Create
7. Pilih table1, klik kanan pilih design view isi nama table: misalnya (club)
8. kemudian isi table dengan berapa field yang anda inginkan, misalnya seperti ini
9. Di sini saya menggunakan 7 field (no, arsenal, Real Madrid, Chelsea, Barcalona, MU, Valencia). ganti field sizenya pada field Properties sesuai Keingginan anda
10. Klik table (club) pilih open Isi Field dengan bebera Record
11. kemudian Save. liat hasilnya di mana anda menyimpan file tersebut.
12. Selesai :D.



Read More...

Membuat Database menggunakan Microsoft Office Access 2007

Di sini Kantin Kampus akan menshare bagaimana cara membuat database menggunakan Microsoft Office Access 2007. sebelumnya, taukah anda, apa itu Database ? adalah kumpulan informasi yang disimpan di dalam komputer secara sistematik sehingga dapat diperiksa menggunakan suatu program komputer untuk memperoleh informasi dari basis data tersebut.

Langkah-langkah Membuat Database menggunakan Microsoft Office Access 2007
1. Pastikan ms office sudah anda install
2. Pilih Ms access 2007
3. Setelah anda open Ms access tadi, pilih blink database
4. kemudia akan tampil tampilan
5. Kemudian buka file name tadi seperti gambar di atas, akan muncul form lagi
buat folder kemudian pilih format file(mdb). karena nantinya kita akan menghubungkan access dengan Delphi(Postingan selanjutnya). setalah sudah di pilih tinggal klik ok
6. Pilih Create
7. Pilih table1, klik kanan pilih design view isi nama table: misalnya (club)
8. kemudian isi table dengan berapa field yang anda inginkan, misalnya seperti ini
9. Di sini saya menggunakan 7 field (no, arsenal, Real Madrid, Chelsea, Barcalona, MU, Valencia). ganti field sizenya pada field Properties sesuai Keingginan anda
10. Klik table (club) pilih open Isi Field dengan bebera Record
11. kemudian Save. liat hasilnya di mana anda menyimpan file tersebut.
12. Selesai :D.



Read More...

Beberapa Component Joomla yang Patut di Coba

Banyaknya extension yang dikembangkan oleh pihak ketiga (3rd development) merupakan salah satu faktor Joomla berkembang sangat pesat dan diminati banyak pengguna terutama bagi pengembang web pemula yang memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bahasa pemrograman web.

Hal itu dikarenakan Joomla dirancang untuk dapat terintegrasi dengan beberapa fitur tambahan yang dikembangkan oleh pihak ketiga mencakup component, module, plugin, dan template. Intinya, Joomla dirancang untuk membangun web yang paling sederhana hingga web portal yang kompleks dengan beberapa tambahan extension secara mudah.

Jadi, bentuk website yang dihasilkan bergantung pada rancangan awal pembuatan website itu sendiri kemudian tinggal memasukkan beberapa extension yang diperlukan. Disarankan untuk mempelajari beberapa fungsi component yang disediakan.

Berikut ini beberapa contoh component yang menurut penulis penting untuk diketahui dan sudah pernah digunakan dalam berbagai keperluan sesuai tema website yang dibangun.
  1. Community Builder : berguna untuk membangun website komunitas seperti: organisasi profesi, keagamaan, kedokteran, dan komunitas lainnya. Perlu diingat, component ini memerlukan module agar sistem bekerja lebih baik.
  2. Security Image : berguna untuk memberikan keamanan pada setiap form registrasi maupun form dalam bentuk lain. Dengan adanya fasilitas ini, kemungkinan adanya spam dapat dihindari sejak dini.
  3. Easy Anti Spam : berguna untuk memproteksi semua hal yang berhubungan dengan registrasi. Fasilitas ini hampir sama dengan Security Image namun lebih sederhana.
  4. Protect Configuration File : berguna untuk memproteksi file configuration.php yang sangat rawan terkena serangan hacker.Sistem pengamanannya dapat menggunakan berbagai cara yaitu: mengganti nama file configuration atau mengubah status permisinya.
  5. Fireboard : berguna untuk membuat forum diskusi dan dapat terintegrasi dengan Community Builder sehingga informasi dapat saling melengkapi satu sama lain.
  6. PHP Free Chat : berfungsi untuk menyediakan fasilitas chatting online tanpa memerlukan server lain seperti Yahoo Messenger, MSN Messenger, maupun mIRC.
  7. Jevent : berfungsi untuk menampilkan agenda kegiatan (Event Calendar), misalnya jadwal pelatihan, jadwal mengajar, jadwal rapat, dan lain-lain. Component ini memerlukan module agar tampil di halaman utama.
  8. VirtueMart : berfungsi untuk membuat website toko online. Component ini juga memerlukan beberapa module untuk menampillkan produknya. Biasanya ketika mendownload extension ini, semua file pendukung akan disertakan.



Read More...

Cara Menampilkan Artikel di Home/Halaman Utama Pada Joomla

Seperti yang kita tau sebelumnya, joomla merupakan salah satu CMS yang paling di gemari oleh para desain web sekarang-sekarang ini. tapi mungkin bagi temen-temen yang baru belajar/mengetahui joomla ada yang belum tau cara menampilkan artikel yang baru kita bikin ke Frontpage/Homepage website kita.

Inilah yang membedakan CMS dengan blog, kalau blog seandainya kita update/nulis artikel terbaru maka secara otomatis akan terdetek di halaman utama/homepage blog kita. tapi kalau CMS Joomla tidak begitu, sehingga kita butuh sedikit settinggan agar artikel yang kita bikin di tampilin di Homepage website kita.

Caranya seperti berikut :
  • Masuk ke halaman Administrator Joomla Anda, misal www.situsjoomla.com/administrator, jika anda mempunyai situs dengan alamat www.stusjoomla.com
  • Pada halaman administrator joomla di Control Panel klik menu Add New Artikel atau pilih Menu Content >> Artikel Manager >> Add New Artikel.
  • Jika sudah ketikkan artikel yang ingin di tampilin ke frontpage website anda, pilih category yang di inginkan, kemudian pada pilihan Featured pilih Yes, naah pada pilihan inilah yang sebenarnya artikel anda mau di publish di halaman depan atau tidak, kalau sudah klik Save pada sisi kanan atas.
  • Sekarang bisa anda lihat hasilnya maka artikel yang barusan di bikin akan muncul di fronpage website anda.



Read More...

Cara Menginstall Joomla 1.7 di Komputer Lokal/offline

CSM Joomla merupakan salah satu CMS yang paling favorit digunakan oleh para web desain, karena dengan banyak fitur menarik yang terdapat dalam joomla, setelah pada fersi sebelumnya joomla merilis joomla 1.6, pada sekitar juli 2011 joomla merilis joomla 1.7 yang tentunya mempunyai banyak fitur tambahan ketimbang fersi2 sebelumnya seperti joomla 1.5 dan joomla 1.6, bagi temen-temen yang belum mengenal apa itu joomla sudah saya jelaskan pada postingan sebelumnya.

Untuk menginstall joomla di komputer lokal /pc offline silahkan ikuti langkah di bawah ini :
  • Pastikan komputer anda udah terinstall web server, bagi yang belum tau apa itu web server bisa baca terlebih dahulu artikel tentang web server disini.
  • Download joomla 1.7 di situ resmi joomla www.joomla.org
  • Kemudian extrak /unzip master joomla 1.7 yang tadi sudah di dowload rename misal : kantinkampus.com, dan copykan ke web server komputer lokal. sekedar pengetahuan aja, copykan ke C:/appserv/www/ jika anda memakai appserv dan C:/Xampp/htdocs/ jika anda memakai xampp.
  • Masuk ke browser anda bisa mozilla, opera, google chrome,dll. kemudian ketikkan di address bar localhost/kantinkampus.com/ karena tadi file tak rename menjadi kantinkampus.com
  • Maka akan muncul seperti gambar di atas, Klik tombol Next sampai 3 kali hingga muncul perintah seperti dibawah ini
  • Pada pilihan Host Name=localhost, User Name=root, Pasword=kosongkan, Database Name=database yang di inginkan, Table Perfix=Nama Awalan tabel yang anda inginkan. Kemudian klik Next.
  • Maka akan muncul FTP Configuration, untuk FTP Configuration di kosongkan saja dan langsung klik Next

  • Kemudian Pada Pilihan Site Name= isikan judul website yang anda inginkan. Misal : Website kantinkampus. Your email = email anda, Admin username = username administrator yang anda inginkan. Misal : admin. Admin Pasword = pasword admin yang di inginkan, misal : admin123. Confirm Admin pasword = admin123. Username dan pasword ini nantinya digunakan untuk masuk ke administrator joomla.
  • Klik tombol Next, kemudian klik tombol Remove Instalation Folder untuk menghapus Folder Instalation. maka instalasi selesai. untuk menuju website silahkan ketikkan localhost/namaweb.com Misal : localhost/kantinkampus.com



Read More...

Instalasi Template Joomla 1.7

Template joomla merupakan salah satu bagian terpenting dalam sebuah website, Template joomla bisa di dapet secara gratis maupun berbayar. berbagai desain template joomla tersedia di internet, agar template yang sudah kita download bisa kepakai untuk website joomla silahkan lakukan step- by step cara instalasi template joomla, berikut langkahnya :
  • Buka browser internet anda, bisa pakai mozilla, opera, dll. kemudian pada adress bar ketikkan localhost/namaweb.com/administrator/ jika instalasi secara offline. http://namaweb.com/administrator/ jika instalasi secara online.
  • kemudian ketiikan username dan pasword yang tadi udah di buat, klik tombol Login. Perhatikan gambar berikut:
  • Maka akan muncul seperti di atas, kemudian pilih menu Extensions >> Extensions Manager, seperti berikut:
  • Kemudian upload teplate yang tadi udah di download dengan memilih tombol Chose File >> Upload & Install. Jika ada pesan installing template was successfully artinya proses instalasi template berhasil. sekedar pengetahuan template joomla yang di upload tidak perlu di extrak jadi masih bentuk zip/rar.
  • Untuk mengaktikan template yang baru di install pilih menu Extrations >>Template Manager.
  • Pilih salah satu template yang ingin di tampilkan di halaman utama, kemudian pada pilihan menu Default pilih All. klik Save & Close. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut.



Read More...

Cara Menambahkan Kategori /Category pada Joomla

Mungkin sebagian dari pungunjung sudah tau cara ini, karena memang caranya cukup simple dan mudah. tapi meskipun begitu saya kira tidak ada salahnya untuk sharing sesuatu yang simple yang mungkin temen-temen Kantin Kampus yang baru belajar joomla belum mengetahuinya.

Untuk menambahkan kategori baru dalam web berbasis joomla adalah sebagai berikut :
  • Silahkan masuk ke halaman adminitrator joomla, yang biasanya beralamat di http://webanda.com/administrator/
  • Kemudian pada menu Content >> Category Manager. pilih Add New Category
  • Maka akan muncul halaman baru yang meliputi pilihan ; Title=judul kategori, Alias=URL yg di inginkan (saran disamakan dengan title/judulnya), Parent=posisi kategori (saran pilih no parent, jika ingin kategori berdiri sendiri), Access=public dan Description= deskripsi /keterangan singkat dari kategori yang barusan di bikin.

  • Kemudian jika di rasa sudah, tinggal di pilih Save & Close yang ada di samping kanan atas.
  • Dan kalau anda pengen menghapus beberapa kategori yang tidak perlu/ tidak di gunakan, silahkan masuk ke halaman Category Manager, kemudian pilih /centang pada kategori yang ingin di hapus. klik Trash yang ada di kanan atas.



Read More...

Dampak Pemanenan Kayu Hutan

Dampak pemanenan kayu secara umum dapat terjadi berupa perubahan iklim mikro, terbukanya akses kendaraan dari tempat pemanenan sehingga dapat dipakai untuk pembinaan hutan, sarana jalan penghubung antar desa, pengumpulan hasil hutan non kayu dan bahkan sering dimanfaatkan untuk merambah hutan. Selain itu proses pemanenan juga mempengaruhi habitat flora dan fauna serta kualitas sumber air bahkan menurunkan keanekaragaman hayati, karena kerusakan tegakan yang ditimbulkannya baik kerusakan tegakan tinggal, tanah maupun ekosistem di dalamnya (Sukadaryati dkk, 1999).

Pada era reformasi ini, terjadi banyak tuntutan dari stakeholders baik dari dalam negeri maupun badan atau lembaga Internasional menyangkut pengelolaan hutan produksi lestari. ITTO (1990) dalam Anonim (2003) mengatakan bahwa demi untuk menjaga kelestarian hutan, seluruh kayu tropis yang diperdagangkan harus berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Menanggapi fenomena yang berkembang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2003 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mengacu pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan peraturan tersebut yang dulunya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sekarang menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).




Dengan diterbitkannya peraturan baru tersebut diharapkan pemanenan hasil hutan berwawasan lingkungan (Reduced Impact Logging). Klassen (1997) dalam Tinambunan (1999) mengemukakan bahwa penerapan Reduced Impact Logging mempunyai cakupan kepentingan lingkungan maupun ekonomi. Praktek pemanenan hutan selama ini ternyata sudah banyak merusak tegakan tinggal dan tanah serta ekologi hutan secara umum. Praktek demikian merusak masa depan hutan untuk siklus selanjutnya dan dengan demikian mengganggu kelestarian hutan. Dengan penerapan Reduced Impact Logging maka ancaman tersebut akan dapat diminimalkan. Dari kepentingan ekonomi, penerapan Reduced Impact Logging sudah terlihat mampu mengurangi biaya pemanenan dengan perbaikan produktifitas.
Read More...

Kriteria Kelestarian Hasil Hutan

Kriteria mengenai kelestarian hasil telah banyak dituangkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Wyatt dan Smitt (1987), Johnson dan Bruce (1993) dalam Idris, MM dan Sona S. (1997) yaitu :

Pengelolaan hutan yang lestari adalah kegiatan eksploitasi yang secara regular mendapatkan sejumlah hasil hutan tanpa merusaknya atau secara radikal merubah komposisi dan struktur tegakan tersebut secara keseluruhan.
Pengelolaan hutan yang lestari ialah pembalakan hutan yang terkontrol dikombinasikan dengan praktek silvikultur untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai tegakan secara berturut-turut dan semuanya itu diserahkan kapada regenerasi alami.



Read More...

Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi

Pengertian pengelolaan hutan produksi adalah usaha untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu di hutan produksi.

Tujuan pengelolaan hutan adalah tercapainya manfaat ganda yaitu menghasilkan kayu, mengatur tata air, tempat hidup margasatwa, sumber makanan ternak dan manusia dan tempat rekreasi. Dalam keadaan tertentu, manfaat tersebut dapat saling tumbukan, sehingga perlu ditentukan prioritasnya. Disinilah diperlukan adanya tata guna lahan hutan yang permanen (Manan, 1998).

Pelaksanaan kegiatan pengusahaan hutan produksi, khususnya di luar pulau jawa telah dimulai pada tahun 1970-an melalui pola pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada kawasan hutan produksi. Pelaksanaan kegiatan tersebut dilandasi oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan PP Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Kemudian diganti PP Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada hutan produksi. Pengelolaan hutan di Indonesia saat ini mengacu pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.(Anonim, 2009)

Apabila pada awal tahun 1970 tersebut diprediksikan bahwa hutan alam produksi memiliki riap (tingkat pertumbuhan) 1 m³/ha/tahun, maka dengan luas lebih kurang 60 juta hektar, hutan produksi alam dapat menghasilkan bahan baku kayu sebesar 60 juta m³ per tahun. Hal ini dimungkinkan apabila sejak awal hutan alam produksi tersebut dikelola dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan produksi lestari, dimana jumlah kayu yang diambil tidak melebihi tingkat pertumbuhannya. Namun demikian dalam kenyataannya pengusahaan hutan produksi oleh pelaku usaha yang tidak memiliki komitmen untuk mempertahankan kelestarian sumber daya hutan, telah mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya hutan produksi, sehingga tidak mampu lagi menghasilkan bahan baku industri pengolahan kayu sesuai dengan yang diperhitungkan semula yaitu 60 juta m³ per tahun (Astana S, 1999).

Selanjutnya Astana S. (1999) mengatakan bahwa untuk menjalankan prinsip kelestarian hasil, teori manajemen mengajarkan kepada kita agar mempertimbangkan riap pohon sebagai parameter. Riap didefinisikan sebagai pertumbuhan dimensi pohon (diameter dan tinggi) hingga masak tebang. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa umur masak tebang pohon meranti 60 tahun kemudian volumenya dihitung 1 m³, maka riap satu pohon meranti adalah 1/60 m³ per tahun. Artinya kalau kita mengharapkan setiap tahun memproduksi kayu meranti sebesar 1.000 m³, maka kita setiap tahun harus berhasil menanam pohon meranti sebanyak 1.000 dibagi 1/60 m³ dikali 1 pohon, agar prinsip kelstarian hasil dipenuhi. Mengingat dalam pengelolaan hutan kita tidak mengetahui secara tepat berapa sebenarnya riap pohonnya, maka sistem silvikulturnya menyesuaikan dengan asumsi riap yang ditetapkan. Acuan yang dipakai mengasumsikan riapnya sebesar 1 cm per tahun dan daurnya 35 tahun. Dengan asumsi tersebut, pohon yang boleh ditebang adalah yang berdiameter sama atau lebih besar dari 50 cm, dengan harapan pohon yang berdiameter sama dan atau di atas 20 cm dapat menjadi di atas 50 cm setelah masa 35 tahun, sehingga kelestarian hutan alam bisa dipertahankan.

Kendati demikian kenyataan menunjukkan bahwa implementasinya di lapangan masih mengalami banyak kendala. Hal ini disebabkan antara lain karena kegiatan pemanfaatan hutan yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi akumulatif jangka pendek dari pada perimbangan ekologi eksploratif jangka panjang (Hadisaputro, 2000).

Manfaat ekonomi dan dampak ekologis pengusahaan hutan selalu muncul bersamaan dan dipastikan akan memacu pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain akan menimbulkan dampak penurunan kualitas hutan dan lingkungannya, kecuali prinsip pest management practices benar-benar dilakukan sehingga kerusakan hutan diharapkan hanya bersifat sementara. Oleh karena itu, dalam kegiatan pengusahaan hutan yang perlu ditegaskan adalah bagaimana asas kelestarian dapat diwujudkan sehingga keuntungan ekonomi dan kepentingan ekologi dapat diraih. Hal tersebut hanya dapat dicapai jika dibarengi dengan pemilihan sistem silvikultur yang tepat, kemampuan dan profesionalisme rimbawan, pembiayaan serta kemauan dan etikad baik dari pihak pengusaha dalam memenuhi kewajibannya (Hadisaputro, 2000).

Mengingat hutan produksi yang dikelola dengan sistem TPTI di Indonesia masih belum mencerminkan pada asas kelestarian, maka dapat berdampak buruk pada tegakan tinggal. Salah satu dampak negatif dari pelaksanaan penebangan dalam sistem TPTI adalah terjadinya kerusakan pada tegakan lain disekitar pohon ditebang.

Leutournean (1979) dalam Thaib (1986) mengemukakan bahwa kegiatan eksploitasi berperan sebagai kunci dalam mata rantai kegiatan pendayagunaan sumber daya hutan, sayangnya di negara-negara berkembang justru kegiatan ini yang terlemah.




Dampak pemanenan kayu secara umum dapat terjadi berupa perubahan iklim mikro, terbukanya akses kendaraan dari tempat pemanenan sehingga dapat dipakai untuk pembinaan hutan, sarana jalan penghubung antar desa, pengumpulan hasil hutan non kayu dan bahkan sering dimanfaatkan untuk merambah hutan. Selain itu proses pemanenan juga mempengaruhi habitat flora dan fauna serta kualitas sumber air bahkan menurunkan keanekaragaman hayati, karena kerusakan tegakan yang ditimbulkannya baik kerusakan tegakan tinggal, tanah maupun ekosistem di dalamnya (Sukadaryati dkk, 1999).

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, terjadi banyak tuntutan dari stakeholders baik dari dalam negeri maupun badan atau lembaga Internasional menyangkut pengelolaan hutan produksi lestari. ITTO (1990) dalam Anonim (2003) mengatakan bahwa demi untuk menjaga kelestarian hutan, seluruh kayu tropis yang diperdagangkan harus berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Menanggapi fenomena yang berkembang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2003 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mengacu pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan peraturan tersebut yang dulunya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sekarang menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).

Dengan diterbitkannya peraturan baru tersebut diharapkan pemanenan hasil hutan berwawasan lingkungan (Reduced Impact Logging). Klassen (1997) dalam Tinambunan (1999) mengemukakan bahwa penerapan Reduced Impact Logging mempunyai cakupan kepentingan lingkungan maupun ekonomi. Praktek pemanenan hutan selama ini ternyata sudah banyak merusak tegakan tinggal dan tanah serta ekologi hutan secara umum. Praktek demikian merusak masa depan hutan untuk siklus selanjutnya dan dengan demikian mengganggu kelestarian hutan. Dengan penerapan Reduced Impact Logging maka ancaman tersebut akan dapat diminimalkan. Dari kepentingan ekonomi, penerapan Reduced Impact Logging sudah terlihat mampu mengurangi biaya pemanenan dengan perbaikan produktifitas.

Ada dua persyaratan penting dalam opersi pemanenan hutan tropis agar nilai hasil hutan berupa kayu dan non kayu dapat berkelanjutan, yaitu operasi harus dilakukan sedemikian rupa agar meminimalkan dampaknya terhadap tegakan sisa dan operasi harus mampu meninggalkan hutan dalam kondisi yang bisa mendorong penyehatan secara cepat atau kembali seperti keadaan sebelum dipanen atau ke keaadaan lain secara silvikultur, ekologi dan sosial dapat diterima atau diperlukan. Dikemukakan juga bahwa kunci untuk mempertahankan kelestarian hutan tropis melalui operasi pemanenan hutan adalah penggunaan pengetahuan terbaik saat ini dalam aplikasi 6 elemen penting yaitu : Perencanaan pemanenan; jalan hutan; penebangan; pengeluaran kayu; pengangkutan dan penilaian pasca panen (Tinambunan, 1999).

Dalam kegiatan TPTI, penebangan memiliki andil besar dalam perubahan keadaan ekologis hutan, struktur dan komposisi tegakan serta kelestarian hutan. Tegakan tinggal yang diakibatkan oleh kegiatan penebangan terdiri dari berbagai jenis tumbuhan berkayu dari tingkatan pohon, tiang, sapihan maupun semai dan merupakan obyek yang harus menadapat perhatian khusus untuk menjamin kelestarian hasil hutan untuk rotasi tebangan berikutnya.

Kriteria mengenai kelestarian hasil telah banyak dituangkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Wyatt dan Smitt (1987), Johnson dan Bruce (1993) dalam Idris, MM dan Sona S. (1997) yaitu :
  1. Pengelolaan hutan yang lestari adalah kegiatan eksploitasi yang secara regular mendapatkan sejumlah hasil hutan tanpa merusaknya atau secara radikal merubah komposisi dan struktur tegakan tersebut secara keseluruhan.
  2. Pengelolaan hutan yang lestari ialah pembalakan hutan yang terkontrol dikombinasikan dengan praktek silvikultur untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai tegakan secara berturut-turut dan semuanya itu diserahkan kapada regenerasi alami.
Read More...

Stratifikasi Hutan

Stratifikasi Hutan pada daerah tropik pohon-pohonnya membentuk beberapa stratum yang tersusun satu di atas yang lain. Namun di dalam hutan sedang tidak pernah ditemui lebih dari dua stratum pohon, bahkan kadangkala hanya terdapat 1 stratum. Sementara itu di dalam hutan hujan akan didapati 3 stratum bahkan lebih, yang dicirikan dengan adanya susunan dari pohon-pohon yang diatur dalam tiga tingkatan yang agak jelas. Tingkat pertama (dominan) membentuk satu kanopi sempurna.

Kanopi merupakan kumpulan tajuk (kesatuan tajuk) atas hutan yang rata-rata mempunyai ketinggian 20-35 meter dan tumbuhnya rapat sehingga tajuknya saling bertautan membentuk kesinambungan dan menjadi atap hutan. Hal ini menyebabkan kondisi sekitar menjadi sejuk atau teduh tanpa sinar matahari. Tumbuh-tumbuhan yang terdapat di kanopi umumnya berdaun tetapi variasinya kurang. Permukaan daun rata dan mengkilap di kedua sisinya. Di bawahnya terdapat suatu tingkatan lain dari pohon-pohon besar yang juga membentuk kanopi yang sempurna. Lebih rendah lagi terdapat suatu tingkatan dari pohon-pohon kecil yang terpencar.

Suatu stratum pohon dapat membentuk suatu kanopi yang kontinu atau diskontinu. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya tajuk-tajuk yang saling bersentuhan secara lateral. Istilah kanopi adakalanya sinonim dengan stratum. Kanopi berarti suatu lapisan yang sedikit banyak kontinu dari tajuk-tajuk pohon yang tingginya mendekati sama, misalnya permukaan yang tertutup. Atap dari hutan kadangkala juga disebut kanopi. Di dalam hutan hujan, permukaan ini dapat dibentuk oleh tajuk-tajuk dari stratum yang paling tinggi saja.




Stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropika dipisahkan oleh beberapa stratum antara lain:
  1. Stratum A: Merupakan lapisan teratas terdiri dari pohon-pohon yang tingginya sekitar 80 meter ke atas, misalnya Shorea sp. Di antaranya terdapat juga pohon yang rendah, tetapi umumnya tinggi pepohonan mencapai rata-rata 40-50 meter dan bertajuk tidak beraturan (diskontinu) sehingga tidak saling bersentuhan membentuk lapisan yang bersinambungan. Pepohonan tersebut umumnya mempunyai 3 atau 4 lapisan tajuk, batang yang tumbuh lurus, tinggi, serta batang bebas cabangnya cukup tinggi. Pada hutan stratum A ini banyak dijumpai liana-liana berbatang tebal, berkayu, bersifat herba dan epifit.
  2. Stratum B: Terdiri dari pohon-pohon yang mempunyai tinggi 18­ - 30 meter dengan tajuk yang beraturan (kontinu). Batang pohon umumnya bercabang dan batang bebas cabangnya yang tidak begitu tinggi. Jenis pohon pada stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran).
  3. Stratum C: Terdiri dari pohon-pohon yang mempunyai tinggi 4-18 meter dan bertajuk kontinu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil dan banyak bercabang banyak. Lapisannya bersinambungan dan agak rapat.
  4. Stratum D: Terdiri dari lapisan perdu dan semak yang mempunyai tinggi 1-4 meter. Termasuk di dalamnya adalah pohon ­pohon muda, palma-palma kecil, herba besar dan paku­pakuan besar.
  5. Stratum E: Terdiri dari lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah atau lapisan lapangan yang mempunyai tinggi 0-1 meter. Di daerah ini banyak dijumpai tanaman anak-anakan dan tumbuhan yang bersifat herba.
Meskipun sudah dibedakan dalam stratum tetapi tidak menutup kemungkinan timbulnya perbedaan antar stratum. Hal ini disebabkan keadaan tempat tumbuh dan komposisi hutan yang berbeda. Misalnya, di dalam hutan hujan campuran di Nigeria, Guyana dan Kalimantan Utara, tinggi rata-rata stratum A dapat bervariasi antara 30-42 meter, stratum B antara 18-27 meter dan stratum C antara 8-14 meter.

Antara stratum A dan terdapat B perbedaan yang jelas karena terdapat diskontinuitas tajuk yang vertikal. Namun antara stratum B dan C perbedaan ini umumnya kurang jelas, sehingga hanya dapat dibedakan berdasarkan tinggi dan bentuk pohon saja. Di samping itu, tidak semua hutan memiliki stratum seperti di atas, yang berarti hutan hanya mempunyai stratum A-B atau A-C saja. Tetapi yang penting menurut Richards (1952) ialah adanya peranan liana (tumbuh-tumbuhan pemanjat) berkayu yang dapat menjadi bagian dari tajuk hutan.
Read More...

Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem

Bertentangan dengan bayangan populer tentang daerah tropis yang selalu ditutupi hutan rimba raya seluruhnya, hutan tropika basah tampak tidak mampu menghuni lahan kembali (kelentingan) begitu pohon ditebang dan dimanfaatkan untuk pertanian dan tujuan lain. Terdapat sejumlah alasan untuk hal ini:
  1. Penebangan dan pembakaran kemungkinan melepaskan kebanyakan zat hara ke dalam tanah tropik yang miskin. Zat hara ini kemudian diluruhkan oleh hujan tropis yang hangat;
  2. Proses regenerasi hutan rumit, dan semaian pohon yang ditemukan di hutan sering mentoleransi kisaran kelembaban dan kondisi cahaya yang sempit saja, karenanya semaian ini tidak dapat tumbuh di daerah terbuka. Pada kondisi alami, suksesi berbagai spesies, dimulai dengan jenis pendatang, yang menyediakan lingkungan seperti ini;
  3. Biji hutan tropika sering disebarkan oleh hewan, kadang-kadang oleh jumlah spesies yang relatif seidikit. Ini berarti bahwa sumber biji harus berada dekat daerah tebangan dan bahwa populasi penyebarnya harus mampu bertahan terhadap perubahan-perubahan habitat yang drastis;
  4. Pohon hutan sering diserbuki dengan bantuan hewan, dan sistem perkembangbiakan seperti dioecy (berumah dua—dimana bunga jantan dan betina berada pada pohon berbeda) adalah umum. Tanaman ini memerlukan penyerbukan silang antar individu, yang artinya pohon harus tumbuh berdekatan dengan penyerbukan yang sesuai di sekitarnya;
  5. Penyerbukan dan penyebaran menjadi lebih sukar karena kejarangan relatif dari spesies hutan. Kejarangan ini merupakan akibat alami dari keragaman, karena hutan tropik, tidak seperti banyak hutan beriklim sedang, tidak biasanya didominasi oleh sejumlah kecil spesies; Pohon memerlukan hubungan simbiotik khusus dengan jamur yang dikenal sebagai mikorhiza;
  6. Terdapat kumpulan biji yang belum berkecambah di tanah tropik, yang dikenal sebagai bank benih, tetapi tidak jelas berapa lama biji-biji ini mampu hidup. Kadar kemampuan hidup biji tersebut di tanah tropik dalam menghadapi serangan serangga dan jamur, amat bervariasi antar spesies, dan kondisi di daerah tebangan sering terlalu menekan biji untuk hidup;
  7. Rerumputan dan semak kaku, berduri tahan api, menjadi subur setelah pembakaran dan perumputan yang lama. Tumbuhan ini dapat menghambat pertumbuhan hutan kembali secara efektif.




Memahami kendala-kendala tersebut di atas dapat dilihat bahwa amat mudah untuk mengganggu hutan. Kepercayaan bahwa hutan mempunyai daya lenting tinggi dan bersuksesi dengan cepat dan kembali ke suksesi dan kondisi awalnya, sangat tidak beralasan. Atas dasar ini maka pengelolaan hutan tropis untuk mengembalikan fungsinya secara utuh perlu bantuan manusia secara serius untuk mempercepat terjadinya suksesi secara benar tanpa merubah secara total struktur dan komposisi hutan alam sebagaimana pada awalnya.

Pengelolaan hutan berbasis ekosistem berarti berupaya mempertahankan komposisi jenis pohon dan struktur hutan sedapat mungkin mendekati kondisi awal suksesi klimaksnya. Hal ini tentu sangat sulit, walaupun demikian dengan mempertahankan sebagian besar spesies asli dengan struktur tegakan yang seimbang maka kondisi awal hutan tropis dapat memberikan gambaran yang serupa. Umumnya hutan tropis didominasi oleh pohon dominan dari jenis Dipterocarpaceae dan ko-dominan dari berbagai jenis pohon lainnya. Dengan demikian struktur hutan akan terdiri dari tiga strata pohon dominan dan ko-dominan, sehingga kita akan mendapatkan tiga sampai 5 lapisan pohon dan tumbuhan selain tumbuhan bawah dalam kawasan hutan utuh.

Pembalakan hutan secara mekanis dengan alat-alat berat menyebabkan kerusakan struktur hutan dan menghilangkan banyak spesies ko-dominan dan tumbuhan bawah. Jenis pohon dan tumbuhan lain yang belum dikenal manfaatnya dapat punah tanpa diketahui sebelumnya. Hal ini merupakan alasan mengapa penggunaan sistem mekanis dalam pembalakan hutan menjadi sangat merusak ekosistem hutan. Apabila kita konsisten dengan tujuan pengelolaan hutan berbasis ekosistem maka tujuan manajemen yang ditetapkan harus berbasis pada tujuan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem hutan (Forest Eco-System Managament), yang berarti pengelolaan hutan dengan sedikit mungkin meninggalkan kerusakan ekosistem hutan.

Kiat pengelolaan hutan di daerah kepulauan tentu memerlukan spesifikasi karena kondisinya yang berbeda dari hutan-hutan daerah kontinen. Dengan demikian pendekatan yang dipakai dalam mengelola juga harus lebih ekstra hati-hati dan tidak dapat diperlakukan seragam.

Pengelolaan hutan pulau diawali dengan suatu perencanaan pengelolaan, dimana pulau didelianasi ke dalam zona-zona kawasan penggunaan. Delianasi pulau ini mengikuti metode penentuan Satuan Kemampuan Lahan (Land Capability Unit). Metode ini didasarkan pada kemampuan lahan untuk aman dari erosi dan degradasi yang akut. Satuan kemampuan lahan diperoleh dari hasil overlay peta-peta tematik yang memiliki nilai unit lahan dalam ukuran yang sangat kecil dan terdiri dari beberapa variabel yang akan dimultiplikasi dengan menggunakan jasa software Geographical Information System (GIS), akan memperoleh satuan-satuan lahan sesuai kemampuannya.

Berdasarkan satuan kemampuan lahan inilah, ditetapkan lahan menurut peruntukannya. Umumnya delianasi tersebut berdasarkan zona yang terdiri atas zona lindung (protection forest) termasuk kawasan konservasi dan suaka alam, yang diharapkan merupakan virgin forest bersuksesi klimaks; zona hutan produksi terbatas, dan zona hutan produksi, zona penyangga dapat berupa kebun kayu campuran dan dusung (sistem agroforestry tradisional), zona budidaya tanaman (lahan perkebunan dan pertanian menetap), zona pemukiman dan zona budidaya perikanan serta penggunaan lain (industri dan pariwisata).

Pengelolaan hutan harus didasarkan pada perencanaan dan tujuan manajemen hutan tersebut. Keabsahan dari suatu wilayah yang diperuntukkan bagi hutan produksi terbatas dan produksi misalnya, adalah pengukuhannya melalui keputusan pemerintah sehingga memenuhi azas legalitas dan bersifat permanen. Dengan demikian dasar hukum bagi pengelolaan hutan lebih jelas, dengan tata batas yang jelas dan pasti, sehingga wilayah yang ditetapkan sebagai hutan akan tetap merupakan hutan lestari dan abadi sepanjang masa.

Mengkaji perubahan paradigma pengelolaan hutan di Indonesia, maka redesain kehutanan di daerah ini perlu dilakukan secara holistik. Desain kehutanan disusun dengan mempertimbangkan aspek manajemen, sifat hutan primer, bahaya kebakaran, teknis, ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
Read More...

Organologi

Akar berasal dari akar lembaga (radix). Pada Dikotil, akar lembagaterus tumbuh sehingga membentuk akar tunggang, pada Monokotil, akar lembaga mati, kemudian pada pangkal batang akan tumbuh akar-akar yangmemiliki ukuran hampir sama sehingga membentuk akar serabut. Akar monokotil dan dikotil ujungnya dilindungi oleh tudung akar atau kaliptra,yang fungsinya melindungi ujung akar sewaktu menembus tanah, sel-selkaliptra ada yang mengandung butir-butir amylum, dinamakan kolumela.Akar memiliki fungsi yaitu untuk menambatkan tubuh pada tanah, untuk menyimpan cadangan makanan, untuk menyerap air dan garam-garammineral terlarut. Dari hasi pengamatan tanaman kelapa sawit mempunyaiakar serabut, dan termaksuk tanaman monokotil. Pada tanaman kakao,mempunyai akar tunggang dan serabut. Dan pada tanaman tebu, mempunyaiakar serabut.Batang merupakan alat hara atau alat pertumbuhan dari tumbuhan.Batang merupakan bagian tumbuh tumbuhan yang amat penting danmengingat tempat serta kedudukan batang bagi tumbuh tumbuhan .

Batang Dikotil memilik lapisan-lapisan dari luar ke dalam, yaitu epidermis, korteks,endodermis, dan stele/silinder pusat. Epidermis terdiri atas selaput sel yangtersusun rapat, tidak mempunyai ruang antar sel. Fungsi epidermis untuk melindungi jaringan di bawahnya. Pada tumbuhan Dikotil, berkayu keras danhidupnya menahun, pertumbuhan menebal sekunder tidak berlangsung terus-menerus, tetapi hanya pada saat air dan zat hara tersedia cukup, sedang padamusim kering tidak terjadi pertumbuhan sehingga pertumbuhan menebalnya pada batang tampak berlapis-lapis, setiap lapis menunjukkan aktivitas pertumbuhan selama satu tahun, lapis-lapis lingkaran tersebut dinamakanLingkaran Tahun. Pada tanaman kelapa sawit, tergolong tumbuhan yang jelas berbatang, dan mempunyai bentuk batang bulat. Pada tanaman kakao, jugatergolong tumbuhan yang jelas berbatang, dan mempunyai bentuk batang bulat, termasuk batang yang berkayu. Sedangkan pada tanaman tebu juga termasuk tumbuhan yang jelas berbatang, mempunyai bentuk batang bulat,dan termasuk batang yang basah.Daun merupakan salah satu alat hara atau alat pertumbuhan daritumbuhan. Fungsi daun pada tumbuhan yaitu :sebagai alat pengambilan zat-zat makanan (resorbsi), tempat pengelola zat-zat makana (asimilasi), tempat penguapan air (transpirasi), dan pernapasan(respirasi). Bagian-bagian daunsecara umum yaitu : Upin daun atau pelepah daun (vagina), tangkai daun(petiolus) dan helaian daun (lamina). Daun yang tidak lengkap (tidak sempurna) ada beberapa kemungkinan yaitu: Hanya terdiri atas tangkai danhelaian saja, di sebut daun bertangkai, Misalnya pada daun nangka danmangga. Daun terdiri atas upin dan helaian, daun ini di sebut daun derupinatau daun berpelepah, Misalnya pada daun padi dan jagung. Daun terdiri atashelaian saja, tanpa upin dan tangkai,sehingga helaian kangsung melekat pada batang, da namakan daun duduk (senssilis). Missal pada daun biduri.Pada daun kelapa sawit mempunyai upin daunatau pelepah, tangkaidaun, helaian daun, jadi pada daun kelapa sawit mempunyai daun lengkap.Pada daun kakao hanya mempunyai tangkai dan helaian saja, pada daunkakao di sebut daun bertangkai. Dan pada tanaman tebu mempunyai Upindaun atau pelepah daun (vagina). Daun terdiri atas tangkai saja yang menjadi pipih, di namakan filorida, misalnya pada akasia.




Dari praktikum yang telah dilaksanakan maka dapat diambil kesimpulan :
  1. Pada tanaman kelapa sawit mempunyai daun lengkap
  2. Batang kelapa sawit, kakao dan tebu mempunyai bentuk batang bulat.
  3. Daun lengkap mempuyai : upin daun atau helaian daun, tangkai daun danhelaian daun.
  4. Pada daun kakao hanya mempunyai tangkai dan helaian saja, pada daunkakao di sebut daun bertangkai.
  5. Batang Dikotil memilik lapisan-lapisan dari luar ke dalam, yaituepidermis, korteks, endodermis, dan stele/silinder pusat
Daftar Pustaka
Kamil Jurnalis, 1982. Morfologi pangan , angkasa , bandung.
Kinbal, J.W.1991. Biologi (terjemahan: Tjitrosomo, S.S. dan Sugiri,N.).
(BSCS) University of Colorado, amerika, 1980. Biologi Umum
Read More...

Ilmu tanah

Ilmu tanah adalah pengkajian terhadap tanah sebagai sumber daya alam. Dalam ilmu ini dipelajari berbagai aspek tentang tanah, seperti pembentukan, klasifikasi, pemetaan, berbagai karakteristik fisik, kimiawi, biologis, kesuburannya, sekaligus mengenai pemanfaatan dan pengelolaannya. Tanah adalah lapisan yang menyeliputi bumi antara litosfer (batuan yang membentuk kerak bumi) dan atmosfer. Tanah menjadi tempat tumbuh tumbuhan dan mendukung kehidupan hewan dan manusia.

Ilmu tanah dipelajari oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu keteknikan (rekayasa), agronomi/pertanian, kimia, geologi, geografi, ekologi, biologi (termasuk cabang-cabangnya), ilmu sanitasi, arkeologi, dan perencanaan wilayah. Akibat banyaknya pendekatan untuk mengkaji tanah, ilmu tanah bersifat multidisiplin dan memiliki sisi ilmu murni maupun ilmu terapan.




Ilmu tanah dibagi menjadi dua cabang utama: pedologi dan edafologi. Pedologi mempelajari tanah sebagai objek geologi. Edafologi, atau ilmu kesuburan tanah, mempelajari tanah sebagai benda pendukung kehidupan. Keduanya menggunakan alat-alat dan sering kali juga metodologi yang sama dalam mempelajari tanah, sehingga muncul pula disiplin ilmu seperti fisika tanah, kimia tanah, biologi tanah (atau ekologi tanah), serta ilmu konservasi tanah. Karena tanah juga memiliki aspek ketataruangan dan sipil, berkembang pula disiplin seperti mekanika tanah, pemetaan (kartografi), geodesi dan survai tanah, serta pedometrika atau pedostatistika. Penggunaan informatika juga melahirkan beberapa ilmu campuran seperti geomatika.
Read More...

Bakteri Sebagai Agen Hayati

Peningkatan permintaan konsumen terhadap kualitas pangan yang tinggi, segar, bergizi, dan mudah disiapkan menyebabkan peningkatan produksi pangan olah minimal (Durand, 1990). Apel merupakan produk olah minimal yang umum dijumpai di swalayanswalayan di Indonesia. Potongan buah olah minimal merupakan bahan pangan yang dapat busuk dengan cepat dikarenakan mikroorganisme (Nguyen-the dan Carlin, 1994). Salah satu mikroorganisme yang berpengaruh terhadap kerusakan pangan olah minimal adalah Staphylococcus aureus, yang merupakan bakteri penyebab keracunan yang memproduksi enterotoksin. S. aureus merupakan patogen indikator sanitasi tangan pekerja, sehingga penting untuk mengetahui keamanan mikrobiologis dari buah olah minimal.

Beberapa upaya menurunkan kontaminasi awal pada buah olah minimal adalah dengan menggunakan sanitiser seperti klorin (Nguyen-the dan Carlin, 1994). Namun, penggunaan klorin dalam pangan ataupun perlakuan air maíz dipertanyakan, karena beberapa componen pangan dapat bereaksi dengan klorin membentuk senyawa toksik yang potensial (Richardson, 1994).

Dalam industri pangan, bakteri asam laktat telah digunakan secara luas sebagai agen biokontrol untuk meningkatkan keamanan pangan olah minimal yang direfrigerasi tanpa penambahan asam. Peranan bakteri asam laktat adalah untuk memperbaiki cita rasa, tetapi bakteri asam laktat ini ternyata juga memiliki efek pengawetan pada produk fermentasi yang dihasilkan. Bakteri asam laktat dapat memproduksi dan melakukan sekresi berupa senyawa penghambat selain asam laktat dan asam asetat, seperti hidrogen peroksida, bakteriosin, antibiotik, dan reuterin yang kurang dikenal atau belum terungkap kemampuannya sebagai senyawa penghambat.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui sifat penghambatan dan pengawetan bakteri asam laktat (BAL) seperti efek penghambatan BAL pada mikroflora yang terdapat dalam sayur siap olah (Vescovo, et al., 1995), dan penggunaan BAL untuk meningkatkan keamanan buah dan sayuran olah minimal (Breidt dan Fleming, 1995).

I. DEFENISI AGENS HAYATI
pemanfaatan agens hayati untuk mengendalikan patogen masih populer dan memberikan harapan, baik di dalam negeri maupun manca negara. Di antara kelompok agens hayati, Pseudomonas fluorescens dan Trichoderma spp. menempati urutan teratas; paling banyak digunakan atau diteliti.

Pengertian agens hayati menurut FAO (1988) adalah mikroorganisme, baik yang terjadi secara alami seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik (genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pengertian ini hanya mencakup mikroorganisme, padahal agens hayati tidak hanya meliputi mikroorganisme, tetapi juga organisme yang ukurannya lebih besar dan dapat dilihat secara kasat mata seperti predator atau parasitoid untuk membunuh serangga. Dengan demikian, pengertian agens hayati perlu dilengkapi dengan kriteria menurut FAO (1997), yaitu organisme yang dapat berkembang biak sendiri seperti parasitoid, predator, parasit, artropoda pemakan tumbuhan, dan patogen.

Lebih jauh, jika diperhatikan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995 tentang pengertian agens hayati maka maknanya menjadi lebih sempurna lagi, yaitu setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya (Menteri Pertanian RI 1995).

Definisi terakhir mempunyai pengertian bahwa agens hayati tidak hanya digunakan untuk mengendalikan OPT, tetapi juga mencakup pengertian penggunaannya untuk mengendalikan jasad pengganggu pada proses produksi dan pengolahan hasil pertanian.

II. TAHAPAN PENGEMBANGAN AGENS HAYATI
Faktor awal yang sangat menentukan keberhasilan pengembangan agens hayati untuk pengendalian patogen tanaman adalah ketepatan dalam pemilihan jenis dan sumber agens hayati yang akan dikembangkan. Pada umumnya jenis agens hayati yang dikembangkan adalah mikroba alami, baik yang hidup sebagai saprofit di dalam tanah, air dan bahan organik, maupun yang hidup di dalam jaringan tanaman (endofit) yang bersifat menghambat pertumbuhan dan berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan patogen sasaran, atau bersifat menginduksi ketahanan tanaman.

Tahap pertama dalam pengembangan agens hayati: seleksi agens hayati nonpatogen, Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agens hayati dari populasi alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen dari tanah atau bagian tanaman, atau mutan yang tidak patogen. Pada tahap seleksi awal ini, informasi tentang keefektifan dan identitas calon agens hayati perlu dikuasai dengan baik agar pengembangannya di masa akan datang tidak menjadi masalah. Untuk pengendalian penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, misalnya, jenis-jenis agens hayati dari kelompok bakteri yang pernah diteliti telah dirangkum oleh Sadler (2005), yang meliputi Bacillus spp., B. cereus, B. polymyxa, B. subtilis, Burkholderia glume, Corynebacterium sp., Escherichia sp., Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Streptomyces mutabilis, dan Actinomycetes. Di antara spesies bakteri tersebut, B. polymyxa dan Curtobacterium (Corynebacterium) flaccumfaciens pv. flaccumfaciens perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi patogen pada tanaman (Lelliott dan Stead 1987).

Jenis bakteri lainnya adalah bakteri nonpatogenik dari spesies yang sama, seperti mutan alami yang tidak virulen (avirulen) dari R. solanacearum atau mutan R. solanacearum yang mengandung gen hrpO. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mutan yang mengandung penciri tahan terhadap antibiotik adalah sebaiknya tidak menggunakan antibiotik yang lazim digunakan untuk pengobatan pada manusia (The National Forest and Nature Agency 2000).

Hal ini karena karakter ketahanan terhadap suatu antibiotik dibawa dalam plasmid yang mudah berpindah dari satu bakteri ke bakteri lainnya dalam kondisi alami. Besar kemungkinan karakter ketahanan terhadap antibiotik yang dibawa oleh suatu mutan agens hayati bakteri akan terlepas dan berpindah ke bakteri patogen pada manusia atau hewan sehingga pengendalian menggunakan antibiotik tersebut tidak akan efektif. Dalam tahap awal ini juga perlu dihindari penggunaan agens hayati bakteri yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Satu di antaranya adalah Burkholderia (Pseudomonas) cepacia. B. cepacia dapat ditemukan secara alami di dalam tanah, air, dan rizosfer akar tanaman. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa B. cepacia terdiri atas sekelompok bakteri (Burkholderia kompleks) yang meliputi delapan genetik spesies (genomovar) yang sangat erat kekerabatannya satu sama lainnya (Parke dan Gurian-Sherman 2001).
Di antara kelompok itu ada yang digunakan sebagai agens hayati, tetapi ada juga yang bersifat patogen pada tanaman dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang serius pada manusia. B. cepacia menyebabkan penyakit busuk lunak pada umbi bawang (Lelliott dan Stead 1987) dan hawar daun pada tanaman garut hias (Marantha arundinaceae) (Supriadi et al. 2000).

Potensi B. cepacia dalam menyebabkan kerugian pada manusia telah dibahas oleh suatu Panel Ahli (Scientific Advisory Panel; SAP) pada tanggal 20−23 Juli 1999 di Arlington Virginia (USA) (SAP Report1999). Secara ringkas, beberapa ahli kurang mendapatkan bukti yang cukup tentang kekhawatiran pelepasan strain B. cepacia yang dapat mempengaruhi strain B. cepacia lainnya sehingga dapat menimbulkan kerugian pada manusia. Namun, potensi bahaya B. cepacia terhadap manusia tidak dapat dihilangkan begitu saja. Gejala gangguan akibat B. cepacia yang dikenal dengan istilah Burkholderia Cepacia Syndrome (BCS) perlu diwaspadai (Anomimous http://www3.nbnet. nb.ca/normap/bcepacia.htm). BCS ditandai dengan gejala penurunan kesehatan secara drastis pada seseorang yang terinfeksi bakteri ini karena bakteri dapat masuk ke dalam sistem pembuluh darah. B. cepacia dapat bertahan pada kulit yang lembap selama 60 menit sampai 1 minggu, sedangkan di dalam air, bakteri ini dapat bertahan hidup sampai 1 tahun, dan 82% dari strain B. cepacia kebal terhadap antibiotik. B. cepacia kompleks genomovar VI, yaitu B. dolosa diketahui dapat menyebabkan infeksi kronis dalam cystic fibrosis yang berasosiasi dengan kehilangan fungsi paru-paru dan ketahanan tubuh (Kalish et al. 2006). Menurut Blackburn et al. (2004), cepacia syndrome juga dapat disebabkan oleh B. multivorans (genomovar III), yang menunjukkan gejala cystic fibriosis pada 9 tahun setelah infeksi. Informasi tersebut menekankan perlunya kehati-hatian dalam pemilihan jenis agens hayati yang akan dikembangkan.

Tahap berikutnya adalah menguji keefektifan agens hayati dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogen target. Bila suatu agens hayati menunjukkan potensi antagonisme atau penekanan terhadap patogen target, yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan maka dilakukan tahap pengujian secara terbatas dalam kondisi terkontrol misalnya di rumah kaca dengan menggunakan formula sederhana, seperti penambahan zat pembawa (karier).

Apabila pada tahap ini kemampuan agens hayati masih konsisten dalam menekan perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang, kemungkinan agens hayati menimbulkan kerusakan pada tanaman perlu diperhatikan. Pada pengujian lapang, biasanya agens hayati harus diformulasikan secara lebih baik. Dalam proses pembuatan formula, semua bahan yang digunakan harus dipastikan tidak akan menimbulkan kerusakan pada tanaman target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini pun calon agens hayati masih menunjukkan potensi penekanan yang stabil maka pengujian dalam skala lebih luas dapat dilaksanakan. Tahap terakhir adalah komersialisasi agens hayati. Pada tahap ini diperlukan peran industri untuk memperbanyak agens hayati secara massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang lebih stabil dan terstandar. Pada tahap akhir inilah data tentang analisis risiko dari suatu agens hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya secara komersial dari institusi resmi.

III. ANALISIS RISIKO
Beberapa agens hayati berpeluang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (manusia, hewan, atau tanaman) atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati. Dalam pedoman yang disusun oleh FAO (1988, 1997) tentang agens hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan informasi sebagai berikut:
  1. Kejelasan identitas dari bahan aktif, yang mencakup:
  2. - Karakteristik agens hayati, meliputi informasi tentang a) sifat fisik dan kimia, b) nama umum, nama ilmiah (nama Latin) dan tipe strain dari bakteri, protozoa, jamur, dan sebagainya, c) habitat alami, d) proses produksi atau perbanyakan, e) caracara untuk mengidentifikasi, seperti sifat morfologi, biokimia, dan serologi, f) komposisi bahan pembawa dalam proses produksi agens hayati, dan g) metode analisis. - Kriteria produk (formula), terdiri atas a) sifat fisik dan kimia, b) jumlah atau populasi agens hayati dalam setiap unit tertentu, c) nama dan tipe formula seperti AT, EC, dan SC, d) bahan pembawa seperti pelarut, bahan pelindung terhadap sinar UV, bahan perata, dan sebagainya, e) stabilitas produk dalam kondisi penyimpanan tertentu (suhu dan kelembapan selama penyimpanan), dan f) metode analisis.
  3. Karakteristik biologi, mencakup data tentang a) asal-usul dan metode penyebaran agens hayati pada kondisi cuaca berbeda, b) spesifisitas target sasaran OPT (spesifik atau luas), c) dosis efektif, transmissibility, dan mode of action, d) kekerabatan dengan OPT sasaran, e) jenis tanaman target, dan f) cara aplikasi.
  4. Data toksisitas, baik terhadap manusia maupun mamalia lain, yaitu: a) toksisitas akut oral, b) toksisitas akut dermal, c) toksisitas akut pernafasan, d) iritasi pada mata, dan e) alergi. Data toksisitas akut dermal dan iritasinya pada mata dilakukan khusus terhadap bahan pembawa atau bahan yang digunakan selama proses produksi. Kriteria tambahan yang diperlukan antara lain adalah toksisitas subkronis (persistensi), pengaruh terhadap reproduksi, penurunan kekebalan (untuk virus), dan infektivitas terhadap primata (untuk parasit intraseluler).
  5. Data residu dan pengaruh terhadap lingkungan. Untuk agens hayati yang mekanisme kerja aktifnya dengan cara menghasilkan toksin, evaluasi terhadap residu toksin dalam bagian tanaman yang dimakan perlu dikemukakan. Potensi kerusakan terhadap lingkungan, seperti toksisitas terhadap ikan, organisme nontarget, tanaman nontarget, dan toksisitas terhadap burung, perlu dikemukakan secara jelas.




IV. KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK BEBERAPA AGENS HAYATI BAKTERI
Beberapa contoh karakteristik penting dari bakteri yang sering digunakan sebagai agens hayati, seperti P. fluorescens dan B. subtilis diuraikan berikut ini. P. fluorescens termasuk ke dalam bakteri yang dapat ditemukan di mana saja (ubiquitous); sering kali ditemukan pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar) dan sisa tanaman yang membusuk, tanah dan air (Bradbury 1986), sisa-sisa makanan yang membusuk, serta kotoran hewan. Ciri yang mencolok dan mudah dilihat dari P. fluorescens adalah kemampuannya menghasilkan pigmen pyoverdin dan atau fenazin pada medium King’B sehingga terlihat berpijar bila terkena sinar UV (Tabe1 2). P. fluorescens telah dimanfaatkan sebagai agens hayati untuk beberapa jamur dan bakteri patogen tanaman. Kemampuan P. fluorescens menekan populasi patogen diasosiasikan dengan kemampuan untuk melindungi akar dari infeksi patogen tanah dengan cara mengkolonisasi permukaan akar, menghasilkan senyawa kimia seperti antijamur dan antibiotik, serta kompetisi

dalam penyerapan kation Fe. Di samping itu, P. fluorescens F113 juga digunakan untuk menghancurkan senyawa-senyawa beracun seperti polychlorinated biphenyls yang sangat beracun dan persisten (The National Forest and Nature Agency 2000). B. subtilis diketahui secara luas sebagai bakteri saprofit, tidak menyebabkan penyakit pada tanaman, dapat hidup dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen), bersifat Gram positif, dan membentuk spora (Bradbury 1986), serta menghasilkan beberapa jenis senyawa antimikroba seperti basitrasin, basilin, basilomisin B, difisidin, oksidifisidin, lesitinase, dan subtilisin (EPA 1997). Karakteristik morfologi dan biokimia B. subtilis disajikan pada Tabel 3. Informasi penting tentang karakteristik morfologi dan biokimia B. cepacia ditemukan oleh Bradbury (1986) dan Hildebrand et al. (1988) (Tabel 4). B. cepacia juga memiliki kekerabatan secara serologi dengan R. solanacearum (Robinson et al. 1995; Supriadi et al. 2000).

V. BAKTERI SEBAGAI AGEN PENGHASIL SIDEROFOR
Siderofor adalah senyawa organik selain antibiotik yang dapat berperan dalam pengendalian hayati penyakit tumbuhan. Siderofor diproduksi secara ekstrasel, senyawa dengan berat molekul rendah dengan affinitas yang sangat kuat terhadap besi (III). Kemampuan siderofor mengikat besi (III) merupakan pesaing terhadap mikroorganisme lain, banyak bukti-bukti yang menyatakan bahwa siderofor berperan aktif dalam menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen (Fravel 1988).

Selain peranannya sebagai agen pengangkutan besi (III), siderofor juga aktif sebagai faktor pertumbuhan, dan beberapa diantaranya berpotensi sebagai antibiotik (Neilands 1981). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa siderofor berpendarfluor kuning-kehijauan yang dihasilkan oleh pseudomonad pendarfluor disebut sebagai pseudobactin bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman (Neilands & Leong 1986; Leong 1986). Pigmen pendarfluor hijau-kekuningan larut dalam air, dikeluarkan oleh kebanyakan spesies Pseudomonas. Diantara spesies yang banyak diteliti sehubungan dengan pigmen ini adalah P. airuginosa, P. ovalis, P. mildenbergil, P. reptilivora, P. geniculata, P. calciprecipitans. Pengenalan terhadap pigmen ini tidak susah, terutama jika bakteri dikulturkan pada medium King's B (KB). Ciri-ciri sebagai pengeluar pigmen ini masih digunakan sebagai penanda taksonomi untuk identifikasi bakteri ini yang disebut sebagai bakteri Pseudomonas pendarfluor (Meyer et al. 1987).

Pseudobaktin akan dihasilkan Pseudononas B 10 jika dikulturkan pada medium stress besi. Penelitian menunjukkan bahwa pseudobactin hijau-kekuningan efektif menekan pertumbuhan E. carotovora, manakala pseudobactin merah-kecoklatan tidak menekan pertumbuhan E. carotovora. Menurut Kloepper et al. (1980) secara in vitro, pseudobactin menekan pertumbuhan karena pengikatan besi (III). Perlakuan tumbuhan umbi kentang dengan suspensi sel bekteri strain B 10 clan pseudoboktin menunjukkan pertambahan pertumbuhan yang berarti. Populasi jamur patogen parle sekitar akar juga menjadi berkurang karena perlakuan bakteri strain B 10 (2.3 unit pembentukan koloni (cfu) per 10 cm akar; atou berkurang 59 persen) dan dengan pcrlakuan pseudobaktin (1.4 cfu per 10 cm akar; atau berkurang 74 persen) berbanding perlakuan dengan air (5.5 cfu per 10 cm akar), sedangkan perlakuan bakteri mutan takberpendarfluor yang tidak menghasilkan siderofor tidak menekan pertumbuhan E. carotovora dan tidak pula menyebabkan pertambahan pertumbuhan pada umbi kentang walaupun bakteri mengkoloni akar tumbuhan (Kloepper et al. 1980). Hasil di atas menunjukkan bahwa pseudomonad pendarfluor berperan dalam mempercepat pertumbuhan karena siderofor yang dihasilkannya efisien mengikat besi (III) pada zon akar, menyebabkan besi (III) tidak tersedia bagi mikroorganisme rhizoplane termasuk mikroorganisme patogen tumbuhan (Leong 1986).

Menurut Neilands dan Leong (1986) mungkin semua pseudomonad pendarfluor dapat menghasilkan siderofor sejenis pseudobaktin yang masing-masing berbeda dalam hal jumlah dan susunan asam amino dalam rantai peptide. Pseudomonad pendarfluor banyak diteliti sehubungan dengan kemampuan bakteri ini sebagai perangsang pertumbuhan (Plant Growth Promoting Rhizobacteria=PGPR) dan menekan serangan penyakit yang disebabkan Fusarium oxysporum dan penyakit akar yang disebabkan Gaeumannomyces graminis. Mekanisme kerja PGPR diketahui sebagai senyawa yang berfungsi sebagai pemasok zat makanan, bersifat antibiosis, atau sebagai hormon pertumbuhan, atau penggabungan dari berbagai cara tersebut. Pseudomonad pendarfluor yang diisolasi dari tanah yang secara alami menekan pertumbuhan Fusarium juga menekan pertumbuhan Gaeumannomyces graminis var. tritici penyebab penyakit take-all (Wong & Baker 1984), penelitiannya membuktikan bahwa tidak hubungan antara hambatan antibiosis yang dihasilkan bakteri secara in vitro di atas agar dan hambatannya terhadap penyakit pada tanaman di dalam polibag.

Menurut Wong dan Baker (1984) hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme pengendalian patogen karena persaingan zat besi. Menurut Neilands dan Leong (1986) jamur-jamur patogen tidak menunjukkan kemampuan menghasilkan siderofor jenis yang sama dengan yang dihasilkan bakteri Pseudomonas spp. sehingga jamur patogen mengalami defisit unsur besi menyebabkan pertumbuhan patogen menjadi terhambat.

VI. POTENSI RHIZOBAKTERIA SEBAGAI AGEN HAYATI UNTUK BIOKONTROL JAMUR Fusarium sp.
Pengendalian hayati khususnya pada penyakit tumbuhan dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai dengan 1930 ketika pertama kali diperkenalkan antibiotik yang dihasilkan mikroorganisme tanah, tetapi beberapa percobaan belum berhasil sampai penelitian mengenai pengendalian hayati terhenti selama kurang lebih 20 tahun. Perhatian pakar penyakit tumbuhan terhadap metoda pengendalian hayati bangkit kembali ketika diadakan simposium internasional pengendalian hayati di Barkley pada tahun 1963. Sekarang ini sudah menjadi satu pengetahuan bahwa pengendalian hayati akan memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa akan datang (Hasanudin, 2003).

Menurut Istikorini (2002), mekanisme pengendalian hayati bisa terjadi melalui berbagai mekanisme, diantaranya :
  1. Antagonisme, Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh
  2. merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya. Hal ini biasanya terjadi ketika terjadi persaingan antar mikroorganisme dalam hal ruang hidup, nutrisi dan cekaman faktor lingkungan.
  3. ISR (Induced Systemic Resistance) atau Ketahanan terimbas, Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam 2-kloroetil fosfonat).
  4. Proteksi silang, Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo, pendinginan in vivo dan dengan asam nitrit. Biasanya mekanisme antagonisme dan ketahanan berimbas terjadi secara simultan, sehingga rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen secara langsung dan tidak langsung (Paul, 2007). Beberapa studi in vitro terkait mekanisme biofungisida melalui antagonisme telah banyak dilakukan. Menurut Haas and Devago (2005), Pseudomonas fluorescens dapat mengeluarkan senyawa antibiotik (antifungal), siderofor, dan metabolit sekunder lainnya yang sifatnya dapat menghambat aktivitas jamur Fusarium oxysporum. Senyawa siderofor, seperti pyoverdin atau pseudobacin diproduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang miskin ion Fe. Senyawa ini menghelat ion Fe sehingga tidak tersedia bagi mikroorganisme lain. Ion Fe sangat diperlukan oleh spora F. oxysporum untuk berkecambah. Dengan tidak tersedianya ion Fe maka infeksi F. oxysporum ke tanaman berkurang.

Sementara senyawa antibiotik yang dihasilkan antara lain :
phenazine-1-carboxylate, pyoluteorin, pyrrolnitrin, 2,4-diacetylphloroglucinol, phenazine-1-carboxyamide, pyocyanine, hidrogen cyanide dan viscosinamide (Haas, 2005; Adesina, 2007).

Seperti yang telah disebutkan di awal menurut Tilak et al. (2005) dan Botelho et al.(2006) , terdapat beberapa rhizobakteria yang secara in vitro terbukti memiliki aktivitas antifungal. Hasil-hasil penelitian terkait potensi rhizobakteria tersebut sebagai antifungal melaporkan bahwa beberapa bakteri dari genus Bacillus, seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus licheniformis, Bacillus megaterium dan Bacillus pumilus dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan pertumbuhan jamur Fusarium sp (El-Hamshary and Khattab, 2008:24; Huang et al., 2004:82).

Bakteri dari genus Bacillus dilaporkan dapat menghasilkan beberapa peptida yang berperan sebagai antibiotik dan antifungi, seperti: subtilin, subtilosin, mycobacillin, subsporin, ituirin, Cerexin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam sianida, fengycin dan bacilysocin (Katz and Demain, 1977:450; Tamehiro et al., 2002:315; Schaechter, 2004:127; Berkeley et al., 2002:227). Sintesis antibiotik pada Bacillus dikontrol oleh beberapa gen yang ekspresinya dikontrol sesuai dengan kondisi lingkungan tempat bakteri hidup (Schaechter, 2004:128). Bakteri ini mampu menghasilkan enzim degradatif makromolekul yang bisa menghancurkan dinding sel jamur, seperti protease (intraseluler) dan beberapa enzim yang disekresikan pada medium seperti levansukrase, _-glukanase, _-amilase, xilanase, kitinase dan protease (Kunst and Rapoport, 1995:2403; Schaechter, 2004:127). Dinding sel Fusarium sp tersusun atas 39% kitin, 29% glukan, 7% protein dan 6% lemak (Webster and Weber, 2007:5). Kandungan kitin pada dinding sel jamur Fusarium sp ini akan memicu pembentukan enzim degradatif oleh Bacillus.

VII. PENGEMBANGAN AGEN HAYATI SEBAGAI BIOFUNGISIDA JAMUR Fusarium sp. di INDONESIA
Memasuki pasar global, persyaratan produk- produk pertanian ramahlingkungan akan menjadi primadona. Persyaratan kualitas produk pertanian akan menjadi lebih ketat kaitannya dengan pemakaian pestisida sintetik. Pemanfaatan agen hayati sebagai biopestisida pengganti pestisida sintetik belum banyak dikembangkan di Indonesia. Pengembangan agen hayati sebagai pengendali fungi fitopatogen telah dilakukan di beberapa provinsi, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Provinsi Jawa Tengah misalnya, melakukan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian khususnya kentang dengan pemanfaatan agen hayati (biopestisida) sebagai pengganti pestisida sintetik untuk mengedalikan fungi Phytopthora infestans. Jamur ini dapat menyababkan Penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang merupakan penyakit penting dan endemik di sentra-sentra pertanaman kentang di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Wonosobo, Temanggung, Banjarnegara, dan Magelang).

Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah telah berhasil mengembangkan prototipe produk beberapa biofungisida yang ramah lingkungan, yaitu biofungisida trichodermin dan gliocladin yang bahan bakunya terdiri dari bahan aktif dari makhluk hidup berupa konidia beberapa jenis jamur isolat lokal (indigenous). Beberapa jenis jamur isolat lokal yang telah berhasil dikemas dan diaplikasikan sebagai bahan baku biofungisida tersebut adalah Trichoderma harzianum, Gliocladium sp dan Aspergillus niger (Purwantisari, 2008). Menurut data dari Balai Penelitian Tanaman Hias yang berada di Cianjur-Jawa Barat tahun 2004, rhizobakteria yang telah dikembangkan sebagai biofungisida di Jawa Barat khususnya antara lain: Bacillus subtilis, Bacillus polymyxa, Bacillus thuringiensis, Bacillus Pantotkenticus, Burkholderia cepacia dan Pseudomonas fluorescens. Pengembangan rhizobakteria sebagai agen antagonis penghambat pertumbuhan fitopatogen Fusarium sp. di Indonesia sendiri masih belum optimal.

Penggunaan rhizobakteria yang dilakukan baru sebatas tingkat daerah, belum sampai skala nasional. Hal ini sangat disayangkan, mengingat penggunaan rhizobakteria sebagai biofungisida dari hasil penelitian yang telah dilakukan terbukti efektif dalam mengendalikan fitopatogen.

DAFTAR PUSTAKA
Dewi I, R,. 2007. Bakteri pelarut fosfat (bpf). Fakultas pertanian universitas padjadjaran.
Jatinangoro

Aries pratomo, Sp, MSc. 2008. Perinsip pengendalian hayati.
Supriadi.2003. Analisis risiko agens hayati untuk pengendalian patogen pada tanaman. Balai penelitian tanaman rempah dan obat (bptro): bogor.

Balai Penelitian Tanaman Hias.(2004).Mikroba Antagonis Sebagai Agen Hayati Pengendali Penyakit Tanaman. BPTH: Cianjur.

Hasanudin. (2003). Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu. (Online). Tersedia :
http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-hasanuddin.pdf [Diakses tanggal 19 Mei 2010]

Sukorini. H. 2006. Pengaruh Mikroba antagonis terhadap penyakit-penyakit utama tanaman Apel Manalagi. Laporan penelitian. UMM

Juanda, i, f,. 2004. Potensi rhizobakteria sebagai agen biofungisida untuk Pengendalian jamur fitopatogen fusarium. Universitas pendidikan indonesia (upi). Bandung. Jawa barat
Read More...
  • Mahasiswa STMIK Duta Bangsa
  • description
  • description
  • description
  • description
  • description
  • description
  • description

Free Hosting

Free Hosting

My Blog List

A
B
C
     
D
E
F
DuGMp3    
G
H
I
Goo Otomotif HouseofScript  
J
K
L
Java Hotline    
M
N
O

My Games Collection

MeLangKah LeBih MaJu

   
P
Q
R
Pamella Decoration    
S
T
U
Studied WaLL    
V
W
X
     
Y
Z
0-9
     









Join....!


Free Domain

Free Domain

SiNyO. Powered by Blogger.