Bertentangan dengan bayangan populer tentang daerah tropis yang selalu ditutupi hutan rimba raya seluruhnya, hutan tropika basah tampak tidak mampu menghuni lahan kembali (kelentingan) begitu pohon ditebang dan dimanfaatkan untuk pertanian dan tujuan lain. Terdapat sejumlah alasan untuk hal ini:
- Penebangan dan pembakaran kemungkinan melepaskan kebanyakan zat hara ke dalam tanah tropik yang miskin. Zat hara ini kemudian diluruhkan oleh hujan tropis yang hangat;
- Proses regenerasi hutan rumit, dan semaian pohon yang ditemukan di hutan sering mentoleransi kisaran kelembaban dan kondisi cahaya yang sempit saja, karenanya semaian ini tidak dapat tumbuh di daerah terbuka. Pada kondisi alami, suksesi berbagai spesies, dimulai dengan jenis pendatang, yang menyediakan lingkungan seperti ini;
- Biji hutan tropika sering disebarkan oleh hewan, kadang-kadang oleh jumlah spesies yang relatif seidikit. Ini berarti bahwa sumber biji harus berada dekat daerah tebangan dan bahwa populasi penyebarnya harus mampu bertahan terhadap perubahan-perubahan habitat yang drastis;
- Pohon hutan sering diserbuki dengan bantuan hewan, dan sistem perkembangbiakan seperti dioecy (berumah dua—dimana bunga jantan dan betina berada pada pohon berbeda) adalah umum. Tanaman ini memerlukan penyerbukan silang antar individu, yang artinya pohon harus tumbuh berdekatan dengan penyerbukan yang sesuai di sekitarnya;
- Penyerbukan dan penyebaran menjadi lebih sukar karena kejarangan relatif dari spesies hutan. Kejarangan ini merupakan akibat alami dari keragaman, karena hutan tropik, tidak seperti banyak hutan beriklim sedang, tidak biasanya didominasi oleh sejumlah kecil spesies; Pohon memerlukan hubungan simbiotik khusus dengan jamur yang dikenal sebagai mikorhiza;
- Terdapat kumpulan biji yang belum berkecambah di tanah tropik, yang dikenal sebagai bank benih, tetapi tidak jelas berapa lama biji-biji ini mampu hidup. Kadar kemampuan hidup biji tersebut di tanah tropik dalam menghadapi serangan serangga dan jamur, amat bervariasi antar spesies, dan kondisi di daerah tebangan sering terlalu menekan biji untuk hidup;
- Rerumputan dan semak kaku, berduri tahan api, menjadi subur setelah pembakaran dan perumputan yang lama. Tumbuhan ini dapat menghambat pertumbuhan hutan kembali secara efektif.
Memahami kendala-kendala tersebut di atas dapat dilihat bahwa amat mudah untuk mengganggu hutan. Kepercayaan bahwa hutan mempunyai daya lenting tinggi dan bersuksesi dengan cepat dan kembali ke suksesi dan kondisi awalnya, sangat tidak beralasan. Atas dasar ini maka pengelolaan hutan tropis untuk mengembalikan fungsinya secara utuh perlu bantuan manusia secara serius untuk mempercepat terjadinya suksesi secara benar tanpa merubah secara total struktur dan komposisi hutan alam sebagaimana pada awalnya.
Pengelolaan hutan berbasis ekosistem berarti berupaya mempertahankan komposisi jenis pohon dan struktur hutan sedapat mungkin mendekati kondisi awal suksesi klimaksnya. Hal ini tentu sangat sulit, walaupun demikian dengan mempertahankan sebagian besar spesies asli dengan struktur tegakan yang seimbang maka kondisi awal hutan tropis dapat memberikan gambaran yang serupa. Umumnya hutan tropis didominasi oleh pohon dominan dari jenis Dipterocarpaceae dan ko-dominan dari berbagai jenis pohon lainnya. Dengan demikian struktur hutan akan terdiri dari tiga strata pohon dominan dan ko-dominan, sehingga kita akan mendapatkan tiga sampai 5 lapisan pohon dan tumbuhan selain tumbuhan bawah dalam kawasan hutan utuh.
Pembalakan hutan secara mekanis dengan alat-alat berat menyebabkan kerusakan struktur hutan dan menghilangkan banyak spesies ko-dominan dan tumbuhan bawah. Jenis pohon dan tumbuhan lain yang belum dikenal manfaatnya dapat punah tanpa diketahui sebelumnya. Hal ini merupakan alasan mengapa penggunaan sistem mekanis dalam pembalakan hutan menjadi sangat merusak ekosistem hutan. Apabila kita konsisten dengan tujuan pengelolaan hutan berbasis ekosistem maka tujuan manajemen yang ditetapkan harus berbasis pada tujuan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem hutan (Forest Eco-System Managament), yang berarti pengelolaan hutan dengan sedikit mungkin meninggalkan kerusakan ekosistem hutan.
Kiat pengelolaan hutan di daerah kepulauan tentu memerlukan spesifikasi karena kondisinya yang berbeda dari hutan-hutan daerah kontinen. Dengan demikian pendekatan yang dipakai dalam mengelola juga harus lebih ekstra hati-hati dan tidak dapat diperlakukan seragam.
Pengelolaan hutan pulau diawali dengan suatu perencanaan pengelolaan, dimana pulau didelianasi ke dalam zona-zona kawasan penggunaan. Delianasi pulau ini mengikuti metode penentuan Satuan Kemampuan Lahan (Land Capability Unit). Metode ini didasarkan pada kemampuan lahan untuk aman dari erosi dan degradasi yang akut. Satuan kemampuan lahan diperoleh dari hasil overlay peta-peta tematik yang memiliki nilai unit lahan dalam ukuran yang sangat kecil dan terdiri dari beberapa variabel yang akan dimultiplikasi dengan menggunakan jasa software Geographical Information System (GIS), akan memperoleh satuan-satuan lahan sesuai kemampuannya.
Berdasarkan satuan kemampuan lahan inilah, ditetapkan lahan menurut peruntukannya. Umumnya delianasi tersebut berdasarkan zona yang terdiri atas zona lindung (protection forest) termasuk kawasan konservasi dan suaka alam, yang diharapkan merupakan virgin forest bersuksesi klimaks; zona hutan produksi terbatas, dan zona hutan produksi, zona penyangga dapat berupa kebun kayu campuran dan dusung (sistem agroforestry tradisional), zona budidaya tanaman (lahan perkebunan dan pertanian menetap), zona pemukiman dan zona budidaya perikanan serta penggunaan lain (industri dan pariwisata).
Pengelolaan hutan harus didasarkan pada perencanaan dan tujuan manajemen hutan tersebut. Keabsahan dari suatu wilayah yang diperuntukkan bagi hutan produksi terbatas dan produksi misalnya, adalah pengukuhannya melalui keputusan pemerintah sehingga memenuhi azas legalitas dan bersifat permanen. Dengan demikian dasar hukum bagi pengelolaan hutan lebih jelas, dengan tata batas yang jelas dan pasti, sehingga wilayah yang ditetapkan sebagai hutan akan tetap merupakan hutan lestari dan abadi sepanjang masa.
Mengkaji perubahan paradigma pengelolaan hutan di Indonesia, maka redesain kehutanan di daerah ini perlu dilakukan secara holistik. Desain kehutanan disusun dengan mempertimbangkan aspek manajemen, sifat hutan primer, bahaya kebakaran, teknis, ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
0 komentar:
Post a Comment