Showing posts with label Pertanian. Show all posts
Showing posts with label Pertanian. Show all posts

Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem

Bertentangan dengan bayangan populer tentang daerah tropis yang selalu ditutupi hutan rimba raya seluruhnya, hutan tropika basah tampak tidak mampu menghuni lahan kembali (kelentingan) begitu pohon ditebang dan dimanfaatkan untuk pertanian dan tujuan lain. Terdapat sejumlah alasan untuk hal ini:
  1. Penebangan dan pembakaran kemungkinan melepaskan kebanyakan zat hara ke dalam tanah tropik yang miskin. Zat hara ini kemudian diluruhkan oleh hujan tropis yang hangat;
  2. Proses regenerasi hutan rumit, dan semaian pohon yang ditemukan di hutan sering mentoleransi kisaran kelembaban dan kondisi cahaya yang sempit saja, karenanya semaian ini tidak dapat tumbuh di daerah terbuka. Pada kondisi alami, suksesi berbagai spesies, dimulai dengan jenis pendatang, yang menyediakan lingkungan seperti ini;
  3. Biji hutan tropika sering disebarkan oleh hewan, kadang-kadang oleh jumlah spesies yang relatif seidikit. Ini berarti bahwa sumber biji harus berada dekat daerah tebangan dan bahwa populasi penyebarnya harus mampu bertahan terhadap perubahan-perubahan habitat yang drastis;
  4. Pohon hutan sering diserbuki dengan bantuan hewan, dan sistem perkembangbiakan seperti dioecy (berumah dua—dimana bunga jantan dan betina berada pada pohon berbeda) adalah umum. Tanaman ini memerlukan penyerbukan silang antar individu, yang artinya pohon harus tumbuh berdekatan dengan penyerbukan yang sesuai di sekitarnya;
  5. Penyerbukan dan penyebaran menjadi lebih sukar karena kejarangan relatif dari spesies hutan. Kejarangan ini merupakan akibat alami dari keragaman, karena hutan tropik, tidak seperti banyak hutan beriklim sedang, tidak biasanya didominasi oleh sejumlah kecil spesies; Pohon memerlukan hubungan simbiotik khusus dengan jamur yang dikenal sebagai mikorhiza;
  6. Terdapat kumpulan biji yang belum berkecambah di tanah tropik, yang dikenal sebagai bank benih, tetapi tidak jelas berapa lama biji-biji ini mampu hidup. Kadar kemampuan hidup biji tersebut di tanah tropik dalam menghadapi serangan serangga dan jamur, amat bervariasi antar spesies, dan kondisi di daerah tebangan sering terlalu menekan biji untuk hidup;
  7. Rerumputan dan semak kaku, berduri tahan api, menjadi subur setelah pembakaran dan perumputan yang lama. Tumbuhan ini dapat menghambat pertumbuhan hutan kembali secara efektif.




Memahami kendala-kendala tersebut di atas dapat dilihat bahwa amat mudah untuk mengganggu hutan. Kepercayaan bahwa hutan mempunyai daya lenting tinggi dan bersuksesi dengan cepat dan kembali ke suksesi dan kondisi awalnya, sangat tidak beralasan. Atas dasar ini maka pengelolaan hutan tropis untuk mengembalikan fungsinya secara utuh perlu bantuan manusia secara serius untuk mempercepat terjadinya suksesi secara benar tanpa merubah secara total struktur dan komposisi hutan alam sebagaimana pada awalnya.

Pengelolaan hutan berbasis ekosistem berarti berupaya mempertahankan komposisi jenis pohon dan struktur hutan sedapat mungkin mendekati kondisi awal suksesi klimaksnya. Hal ini tentu sangat sulit, walaupun demikian dengan mempertahankan sebagian besar spesies asli dengan struktur tegakan yang seimbang maka kondisi awal hutan tropis dapat memberikan gambaran yang serupa. Umumnya hutan tropis didominasi oleh pohon dominan dari jenis Dipterocarpaceae dan ko-dominan dari berbagai jenis pohon lainnya. Dengan demikian struktur hutan akan terdiri dari tiga strata pohon dominan dan ko-dominan, sehingga kita akan mendapatkan tiga sampai 5 lapisan pohon dan tumbuhan selain tumbuhan bawah dalam kawasan hutan utuh.

Pembalakan hutan secara mekanis dengan alat-alat berat menyebabkan kerusakan struktur hutan dan menghilangkan banyak spesies ko-dominan dan tumbuhan bawah. Jenis pohon dan tumbuhan lain yang belum dikenal manfaatnya dapat punah tanpa diketahui sebelumnya. Hal ini merupakan alasan mengapa penggunaan sistem mekanis dalam pembalakan hutan menjadi sangat merusak ekosistem hutan. Apabila kita konsisten dengan tujuan pengelolaan hutan berbasis ekosistem maka tujuan manajemen yang ditetapkan harus berbasis pada tujuan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem hutan (Forest Eco-System Managament), yang berarti pengelolaan hutan dengan sedikit mungkin meninggalkan kerusakan ekosistem hutan.

Kiat pengelolaan hutan di daerah kepulauan tentu memerlukan spesifikasi karena kondisinya yang berbeda dari hutan-hutan daerah kontinen. Dengan demikian pendekatan yang dipakai dalam mengelola juga harus lebih ekstra hati-hati dan tidak dapat diperlakukan seragam.

Pengelolaan hutan pulau diawali dengan suatu perencanaan pengelolaan, dimana pulau didelianasi ke dalam zona-zona kawasan penggunaan. Delianasi pulau ini mengikuti metode penentuan Satuan Kemampuan Lahan (Land Capability Unit). Metode ini didasarkan pada kemampuan lahan untuk aman dari erosi dan degradasi yang akut. Satuan kemampuan lahan diperoleh dari hasil overlay peta-peta tematik yang memiliki nilai unit lahan dalam ukuran yang sangat kecil dan terdiri dari beberapa variabel yang akan dimultiplikasi dengan menggunakan jasa software Geographical Information System (GIS), akan memperoleh satuan-satuan lahan sesuai kemampuannya.

Berdasarkan satuan kemampuan lahan inilah, ditetapkan lahan menurut peruntukannya. Umumnya delianasi tersebut berdasarkan zona yang terdiri atas zona lindung (protection forest) termasuk kawasan konservasi dan suaka alam, yang diharapkan merupakan virgin forest bersuksesi klimaks; zona hutan produksi terbatas, dan zona hutan produksi, zona penyangga dapat berupa kebun kayu campuran dan dusung (sistem agroforestry tradisional), zona budidaya tanaman (lahan perkebunan dan pertanian menetap), zona pemukiman dan zona budidaya perikanan serta penggunaan lain (industri dan pariwisata).

Pengelolaan hutan harus didasarkan pada perencanaan dan tujuan manajemen hutan tersebut. Keabsahan dari suatu wilayah yang diperuntukkan bagi hutan produksi terbatas dan produksi misalnya, adalah pengukuhannya melalui keputusan pemerintah sehingga memenuhi azas legalitas dan bersifat permanen. Dengan demikian dasar hukum bagi pengelolaan hutan lebih jelas, dengan tata batas yang jelas dan pasti, sehingga wilayah yang ditetapkan sebagai hutan akan tetap merupakan hutan lestari dan abadi sepanjang masa.

Mengkaji perubahan paradigma pengelolaan hutan di Indonesia, maka redesain kehutanan di daerah ini perlu dilakukan secara holistik. Desain kehutanan disusun dengan mempertimbangkan aspek manajemen, sifat hutan primer, bahaya kebakaran, teknis, ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
Read More...

Organologi

Akar berasal dari akar lembaga (radix). Pada Dikotil, akar lembagaterus tumbuh sehingga membentuk akar tunggang, pada Monokotil, akar lembaga mati, kemudian pada pangkal batang akan tumbuh akar-akar yangmemiliki ukuran hampir sama sehingga membentuk akar serabut. Akar monokotil dan dikotil ujungnya dilindungi oleh tudung akar atau kaliptra,yang fungsinya melindungi ujung akar sewaktu menembus tanah, sel-selkaliptra ada yang mengandung butir-butir amylum, dinamakan kolumela.Akar memiliki fungsi yaitu untuk menambatkan tubuh pada tanah, untuk menyimpan cadangan makanan, untuk menyerap air dan garam-garammineral terlarut. Dari hasi pengamatan tanaman kelapa sawit mempunyaiakar serabut, dan termaksuk tanaman monokotil. Pada tanaman kakao,mempunyai akar tunggang dan serabut. Dan pada tanaman tebu, mempunyaiakar serabut.Batang merupakan alat hara atau alat pertumbuhan dari tumbuhan.Batang merupakan bagian tumbuh tumbuhan yang amat penting danmengingat tempat serta kedudukan batang bagi tumbuh tumbuhan .

Batang Dikotil memilik lapisan-lapisan dari luar ke dalam, yaitu epidermis, korteks,endodermis, dan stele/silinder pusat. Epidermis terdiri atas selaput sel yangtersusun rapat, tidak mempunyai ruang antar sel. Fungsi epidermis untuk melindungi jaringan di bawahnya. Pada tumbuhan Dikotil, berkayu keras danhidupnya menahun, pertumbuhan menebal sekunder tidak berlangsung terus-menerus, tetapi hanya pada saat air dan zat hara tersedia cukup, sedang padamusim kering tidak terjadi pertumbuhan sehingga pertumbuhan menebalnya pada batang tampak berlapis-lapis, setiap lapis menunjukkan aktivitas pertumbuhan selama satu tahun, lapis-lapis lingkaran tersebut dinamakanLingkaran Tahun. Pada tanaman kelapa sawit, tergolong tumbuhan yang jelas berbatang, dan mempunyai bentuk batang bulat. Pada tanaman kakao, jugatergolong tumbuhan yang jelas berbatang, dan mempunyai bentuk batang bulat, termasuk batang yang berkayu. Sedangkan pada tanaman tebu juga termasuk tumbuhan yang jelas berbatang, mempunyai bentuk batang bulat,dan termasuk batang yang basah.Daun merupakan salah satu alat hara atau alat pertumbuhan daritumbuhan. Fungsi daun pada tumbuhan yaitu :sebagai alat pengambilan zat-zat makanan (resorbsi), tempat pengelola zat-zat makana (asimilasi), tempat penguapan air (transpirasi), dan pernapasan(respirasi). Bagian-bagian daunsecara umum yaitu : Upin daun atau pelepah daun (vagina), tangkai daun(petiolus) dan helaian daun (lamina). Daun yang tidak lengkap (tidak sempurna) ada beberapa kemungkinan yaitu: Hanya terdiri atas tangkai danhelaian saja, di sebut daun bertangkai, Misalnya pada daun nangka danmangga. Daun terdiri atas upin dan helaian, daun ini di sebut daun derupinatau daun berpelepah, Misalnya pada daun padi dan jagung. Daun terdiri atashelaian saja, tanpa upin dan tangkai,sehingga helaian kangsung melekat pada batang, da namakan daun duduk (senssilis). Missal pada daun biduri.Pada daun kelapa sawit mempunyai upin daunatau pelepah, tangkaidaun, helaian daun, jadi pada daun kelapa sawit mempunyai daun lengkap.Pada daun kakao hanya mempunyai tangkai dan helaian saja, pada daunkakao di sebut daun bertangkai. Dan pada tanaman tebu mempunyai Upindaun atau pelepah daun (vagina). Daun terdiri atas tangkai saja yang menjadi pipih, di namakan filorida, misalnya pada akasia.




Dari praktikum yang telah dilaksanakan maka dapat diambil kesimpulan :
  1. Pada tanaman kelapa sawit mempunyai daun lengkap
  2. Batang kelapa sawit, kakao dan tebu mempunyai bentuk batang bulat.
  3. Daun lengkap mempuyai : upin daun atau helaian daun, tangkai daun danhelaian daun.
  4. Pada daun kakao hanya mempunyai tangkai dan helaian saja, pada daunkakao di sebut daun bertangkai.
  5. Batang Dikotil memilik lapisan-lapisan dari luar ke dalam, yaituepidermis, korteks, endodermis, dan stele/silinder pusat
Daftar Pustaka
Kamil Jurnalis, 1982. Morfologi pangan , angkasa , bandung.
Kinbal, J.W.1991. Biologi (terjemahan: Tjitrosomo, S.S. dan Sugiri,N.).
(BSCS) University of Colorado, amerika, 1980. Biologi Umum
Read More...

Ilmu tanah

Ilmu tanah adalah pengkajian terhadap tanah sebagai sumber daya alam. Dalam ilmu ini dipelajari berbagai aspek tentang tanah, seperti pembentukan, klasifikasi, pemetaan, berbagai karakteristik fisik, kimiawi, biologis, kesuburannya, sekaligus mengenai pemanfaatan dan pengelolaannya. Tanah adalah lapisan yang menyeliputi bumi antara litosfer (batuan yang membentuk kerak bumi) dan atmosfer. Tanah menjadi tempat tumbuh tumbuhan dan mendukung kehidupan hewan dan manusia.

Ilmu tanah dipelajari oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu keteknikan (rekayasa), agronomi/pertanian, kimia, geologi, geografi, ekologi, biologi (termasuk cabang-cabangnya), ilmu sanitasi, arkeologi, dan perencanaan wilayah. Akibat banyaknya pendekatan untuk mengkaji tanah, ilmu tanah bersifat multidisiplin dan memiliki sisi ilmu murni maupun ilmu terapan.




Ilmu tanah dibagi menjadi dua cabang utama: pedologi dan edafologi. Pedologi mempelajari tanah sebagai objek geologi. Edafologi, atau ilmu kesuburan tanah, mempelajari tanah sebagai benda pendukung kehidupan. Keduanya menggunakan alat-alat dan sering kali juga metodologi yang sama dalam mempelajari tanah, sehingga muncul pula disiplin ilmu seperti fisika tanah, kimia tanah, biologi tanah (atau ekologi tanah), serta ilmu konservasi tanah. Karena tanah juga memiliki aspek ketataruangan dan sipil, berkembang pula disiplin seperti mekanika tanah, pemetaan (kartografi), geodesi dan survai tanah, serta pedometrika atau pedostatistika. Penggunaan informatika juga melahirkan beberapa ilmu campuran seperti geomatika.
Read More...

Bakteri Sebagai Agen Hayati

Peningkatan permintaan konsumen terhadap kualitas pangan yang tinggi, segar, bergizi, dan mudah disiapkan menyebabkan peningkatan produksi pangan olah minimal (Durand, 1990). Apel merupakan produk olah minimal yang umum dijumpai di swalayanswalayan di Indonesia. Potongan buah olah minimal merupakan bahan pangan yang dapat busuk dengan cepat dikarenakan mikroorganisme (Nguyen-the dan Carlin, 1994). Salah satu mikroorganisme yang berpengaruh terhadap kerusakan pangan olah minimal adalah Staphylococcus aureus, yang merupakan bakteri penyebab keracunan yang memproduksi enterotoksin. S. aureus merupakan patogen indikator sanitasi tangan pekerja, sehingga penting untuk mengetahui keamanan mikrobiologis dari buah olah minimal.

Beberapa upaya menurunkan kontaminasi awal pada buah olah minimal adalah dengan menggunakan sanitiser seperti klorin (Nguyen-the dan Carlin, 1994). Namun, penggunaan klorin dalam pangan ataupun perlakuan air maíz dipertanyakan, karena beberapa componen pangan dapat bereaksi dengan klorin membentuk senyawa toksik yang potensial (Richardson, 1994).

Dalam industri pangan, bakteri asam laktat telah digunakan secara luas sebagai agen biokontrol untuk meningkatkan keamanan pangan olah minimal yang direfrigerasi tanpa penambahan asam. Peranan bakteri asam laktat adalah untuk memperbaiki cita rasa, tetapi bakteri asam laktat ini ternyata juga memiliki efek pengawetan pada produk fermentasi yang dihasilkan. Bakteri asam laktat dapat memproduksi dan melakukan sekresi berupa senyawa penghambat selain asam laktat dan asam asetat, seperti hidrogen peroksida, bakteriosin, antibiotik, dan reuterin yang kurang dikenal atau belum terungkap kemampuannya sebagai senyawa penghambat.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui sifat penghambatan dan pengawetan bakteri asam laktat (BAL) seperti efek penghambatan BAL pada mikroflora yang terdapat dalam sayur siap olah (Vescovo, et al., 1995), dan penggunaan BAL untuk meningkatkan keamanan buah dan sayuran olah minimal (Breidt dan Fleming, 1995).

I. DEFENISI AGENS HAYATI
pemanfaatan agens hayati untuk mengendalikan patogen masih populer dan memberikan harapan, baik di dalam negeri maupun manca negara. Di antara kelompok agens hayati, Pseudomonas fluorescens dan Trichoderma spp. menempati urutan teratas; paling banyak digunakan atau diteliti.

Pengertian agens hayati menurut FAO (1988) adalah mikroorganisme, baik yang terjadi secara alami seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik (genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pengertian ini hanya mencakup mikroorganisme, padahal agens hayati tidak hanya meliputi mikroorganisme, tetapi juga organisme yang ukurannya lebih besar dan dapat dilihat secara kasat mata seperti predator atau parasitoid untuk membunuh serangga. Dengan demikian, pengertian agens hayati perlu dilengkapi dengan kriteria menurut FAO (1997), yaitu organisme yang dapat berkembang biak sendiri seperti parasitoid, predator, parasit, artropoda pemakan tumbuhan, dan patogen.

Lebih jauh, jika diperhatikan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995 tentang pengertian agens hayati maka maknanya menjadi lebih sempurna lagi, yaitu setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya (Menteri Pertanian RI 1995).

Definisi terakhir mempunyai pengertian bahwa agens hayati tidak hanya digunakan untuk mengendalikan OPT, tetapi juga mencakup pengertian penggunaannya untuk mengendalikan jasad pengganggu pada proses produksi dan pengolahan hasil pertanian.

II. TAHAPAN PENGEMBANGAN AGENS HAYATI
Faktor awal yang sangat menentukan keberhasilan pengembangan agens hayati untuk pengendalian patogen tanaman adalah ketepatan dalam pemilihan jenis dan sumber agens hayati yang akan dikembangkan. Pada umumnya jenis agens hayati yang dikembangkan adalah mikroba alami, baik yang hidup sebagai saprofit di dalam tanah, air dan bahan organik, maupun yang hidup di dalam jaringan tanaman (endofit) yang bersifat menghambat pertumbuhan dan berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan patogen sasaran, atau bersifat menginduksi ketahanan tanaman.

Tahap pertama dalam pengembangan agens hayati: seleksi agens hayati nonpatogen, Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agens hayati dari populasi alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen dari tanah atau bagian tanaman, atau mutan yang tidak patogen. Pada tahap seleksi awal ini, informasi tentang keefektifan dan identitas calon agens hayati perlu dikuasai dengan baik agar pengembangannya di masa akan datang tidak menjadi masalah. Untuk pengendalian penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, misalnya, jenis-jenis agens hayati dari kelompok bakteri yang pernah diteliti telah dirangkum oleh Sadler (2005), yang meliputi Bacillus spp., B. cereus, B. polymyxa, B. subtilis, Burkholderia glume, Corynebacterium sp., Escherichia sp., Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Streptomyces mutabilis, dan Actinomycetes. Di antara spesies bakteri tersebut, B. polymyxa dan Curtobacterium (Corynebacterium) flaccumfaciens pv. flaccumfaciens perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi patogen pada tanaman (Lelliott dan Stead 1987).

Jenis bakteri lainnya adalah bakteri nonpatogenik dari spesies yang sama, seperti mutan alami yang tidak virulen (avirulen) dari R. solanacearum atau mutan R. solanacearum yang mengandung gen hrpO. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mutan yang mengandung penciri tahan terhadap antibiotik adalah sebaiknya tidak menggunakan antibiotik yang lazim digunakan untuk pengobatan pada manusia (The National Forest and Nature Agency 2000).

Hal ini karena karakter ketahanan terhadap suatu antibiotik dibawa dalam plasmid yang mudah berpindah dari satu bakteri ke bakteri lainnya dalam kondisi alami. Besar kemungkinan karakter ketahanan terhadap antibiotik yang dibawa oleh suatu mutan agens hayati bakteri akan terlepas dan berpindah ke bakteri patogen pada manusia atau hewan sehingga pengendalian menggunakan antibiotik tersebut tidak akan efektif. Dalam tahap awal ini juga perlu dihindari penggunaan agens hayati bakteri yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Satu di antaranya adalah Burkholderia (Pseudomonas) cepacia. B. cepacia dapat ditemukan secara alami di dalam tanah, air, dan rizosfer akar tanaman. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa B. cepacia terdiri atas sekelompok bakteri (Burkholderia kompleks) yang meliputi delapan genetik spesies (genomovar) yang sangat erat kekerabatannya satu sama lainnya (Parke dan Gurian-Sherman 2001).
Di antara kelompok itu ada yang digunakan sebagai agens hayati, tetapi ada juga yang bersifat patogen pada tanaman dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang serius pada manusia. B. cepacia menyebabkan penyakit busuk lunak pada umbi bawang (Lelliott dan Stead 1987) dan hawar daun pada tanaman garut hias (Marantha arundinaceae) (Supriadi et al. 2000).

Potensi B. cepacia dalam menyebabkan kerugian pada manusia telah dibahas oleh suatu Panel Ahli (Scientific Advisory Panel; SAP) pada tanggal 20−23 Juli 1999 di Arlington Virginia (USA) (SAP Report1999). Secara ringkas, beberapa ahli kurang mendapatkan bukti yang cukup tentang kekhawatiran pelepasan strain B. cepacia yang dapat mempengaruhi strain B. cepacia lainnya sehingga dapat menimbulkan kerugian pada manusia. Namun, potensi bahaya B. cepacia terhadap manusia tidak dapat dihilangkan begitu saja. Gejala gangguan akibat B. cepacia yang dikenal dengan istilah Burkholderia Cepacia Syndrome (BCS) perlu diwaspadai (Anomimous http://www3.nbnet. nb.ca/normap/bcepacia.htm). BCS ditandai dengan gejala penurunan kesehatan secara drastis pada seseorang yang terinfeksi bakteri ini karena bakteri dapat masuk ke dalam sistem pembuluh darah. B. cepacia dapat bertahan pada kulit yang lembap selama 60 menit sampai 1 minggu, sedangkan di dalam air, bakteri ini dapat bertahan hidup sampai 1 tahun, dan 82% dari strain B. cepacia kebal terhadap antibiotik. B. cepacia kompleks genomovar VI, yaitu B. dolosa diketahui dapat menyebabkan infeksi kronis dalam cystic fibrosis yang berasosiasi dengan kehilangan fungsi paru-paru dan ketahanan tubuh (Kalish et al. 2006). Menurut Blackburn et al. (2004), cepacia syndrome juga dapat disebabkan oleh B. multivorans (genomovar III), yang menunjukkan gejala cystic fibriosis pada 9 tahun setelah infeksi. Informasi tersebut menekankan perlunya kehati-hatian dalam pemilihan jenis agens hayati yang akan dikembangkan.

Tahap berikutnya adalah menguji keefektifan agens hayati dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogen target. Bila suatu agens hayati menunjukkan potensi antagonisme atau penekanan terhadap patogen target, yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan maka dilakukan tahap pengujian secara terbatas dalam kondisi terkontrol misalnya di rumah kaca dengan menggunakan formula sederhana, seperti penambahan zat pembawa (karier).

Apabila pada tahap ini kemampuan agens hayati masih konsisten dalam menekan perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang, kemungkinan agens hayati menimbulkan kerusakan pada tanaman perlu diperhatikan. Pada pengujian lapang, biasanya agens hayati harus diformulasikan secara lebih baik. Dalam proses pembuatan formula, semua bahan yang digunakan harus dipastikan tidak akan menimbulkan kerusakan pada tanaman target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini pun calon agens hayati masih menunjukkan potensi penekanan yang stabil maka pengujian dalam skala lebih luas dapat dilaksanakan. Tahap terakhir adalah komersialisasi agens hayati. Pada tahap ini diperlukan peran industri untuk memperbanyak agens hayati secara massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang lebih stabil dan terstandar. Pada tahap akhir inilah data tentang analisis risiko dari suatu agens hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya secara komersial dari institusi resmi.

III. ANALISIS RISIKO
Beberapa agens hayati berpeluang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (manusia, hewan, atau tanaman) atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati. Dalam pedoman yang disusun oleh FAO (1988, 1997) tentang agens hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan informasi sebagai berikut:
  1. Kejelasan identitas dari bahan aktif, yang mencakup:
  2. - Karakteristik agens hayati, meliputi informasi tentang a) sifat fisik dan kimia, b) nama umum, nama ilmiah (nama Latin) dan tipe strain dari bakteri, protozoa, jamur, dan sebagainya, c) habitat alami, d) proses produksi atau perbanyakan, e) caracara untuk mengidentifikasi, seperti sifat morfologi, biokimia, dan serologi, f) komposisi bahan pembawa dalam proses produksi agens hayati, dan g) metode analisis. - Kriteria produk (formula), terdiri atas a) sifat fisik dan kimia, b) jumlah atau populasi agens hayati dalam setiap unit tertentu, c) nama dan tipe formula seperti AT, EC, dan SC, d) bahan pembawa seperti pelarut, bahan pelindung terhadap sinar UV, bahan perata, dan sebagainya, e) stabilitas produk dalam kondisi penyimpanan tertentu (suhu dan kelembapan selama penyimpanan), dan f) metode analisis.
  3. Karakteristik biologi, mencakup data tentang a) asal-usul dan metode penyebaran agens hayati pada kondisi cuaca berbeda, b) spesifisitas target sasaran OPT (spesifik atau luas), c) dosis efektif, transmissibility, dan mode of action, d) kekerabatan dengan OPT sasaran, e) jenis tanaman target, dan f) cara aplikasi.
  4. Data toksisitas, baik terhadap manusia maupun mamalia lain, yaitu: a) toksisitas akut oral, b) toksisitas akut dermal, c) toksisitas akut pernafasan, d) iritasi pada mata, dan e) alergi. Data toksisitas akut dermal dan iritasinya pada mata dilakukan khusus terhadap bahan pembawa atau bahan yang digunakan selama proses produksi. Kriteria tambahan yang diperlukan antara lain adalah toksisitas subkronis (persistensi), pengaruh terhadap reproduksi, penurunan kekebalan (untuk virus), dan infektivitas terhadap primata (untuk parasit intraseluler).
  5. Data residu dan pengaruh terhadap lingkungan. Untuk agens hayati yang mekanisme kerja aktifnya dengan cara menghasilkan toksin, evaluasi terhadap residu toksin dalam bagian tanaman yang dimakan perlu dikemukakan. Potensi kerusakan terhadap lingkungan, seperti toksisitas terhadap ikan, organisme nontarget, tanaman nontarget, dan toksisitas terhadap burung, perlu dikemukakan secara jelas.




IV. KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK BEBERAPA AGENS HAYATI BAKTERI
Beberapa contoh karakteristik penting dari bakteri yang sering digunakan sebagai agens hayati, seperti P. fluorescens dan B. subtilis diuraikan berikut ini. P. fluorescens termasuk ke dalam bakteri yang dapat ditemukan di mana saja (ubiquitous); sering kali ditemukan pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar) dan sisa tanaman yang membusuk, tanah dan air (Bradbury 1986), sisa-sisa makanan yang membusuk, serta kotoran hewan. Ciri yang mencolok dan mudah dilihat dari P. fluorescens adalah kemampuannya menghasilkan pigmen pyoverdin dan atau fenazin pada medium King’B sehingga terlihat berpijar bila terkena sinar UV (Tabe1 2). P. fluorescens telah dimanfaatkan sebagai agens hayati untuk beberapa jamur dan bakteri patogen tanaman. Kemampuan P. fluorescens menekan populasi patogen diasosiasikan dengan kemampuan untuk melindungi akar dari infeksi patogen tanah dengan cara mengkolonisasi permukaan akar, menghasilkan senyawa kimia seperti antijamur dan antibiotik, serta kompetisi

dalam penyerapan kation Fe. Di samping itu, P. fluorescens F113 juga digunakan untuk menghancurkan senyawa-senyawa beracun seperti polychlorinated biphenyls yang sangat beracun dan persisten (The National Forest and Nature Agency 2000). B. subtilis diketahui secara luas sebagai bakteri saprofit, tidak menyebabkan penyakit pada tanaman, dapat hidup dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen), bersifat Gram positif, dan membentuk spora (Bradbury 1986), serta menghasilkan beberapa jenis senyawa antimikroba seperti basitrasin, basilin, basilomisin B, difisidin, oksidifisidin, lesitinase, dan subtilisin (EPA 1997). Karakteristik morfologi dan biokimia B. subtilis disajikan pada Tabel 3. Informasi penting tentang karakteristik morfologi dan biokimia B. cepacia ditemukan oleh Bradbury (1986) dan Hildebrand et al. (1988) (Tabel 4). B. cepacia juga memiliki kekerabatan secara serologi dengan R. solanacearum (Robinson et al. 1995; Supriadi et al. 2000).

V. BAKTERI SEBAGAI AGEN PENGHASIL SIDEROFOR
Siderofor adalah senyawa organik selain antibiotik yang dapat berperan dalam pengendalian hayati penyakit tumbuhan. Siderofor diproduksi secara ekstrasel, senyawa dengan berat molekul rendah dengan affinitas yang sangat kuat terhadap besi (III). Kemampuan siderofor mengikat besi (III) merupakan pesaing terhadap mikroorganisme lain, banyak bukti-bukti yang menyatakan bahwa siderofor berperan aktif dalam menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen (Fravel 1988).

Selain peranannya sebagai agen pengangkutan besi (III), siderofor juga aktif sebagai faktor pertumbuhan, dan beberapa diantaranya berpotensi sebagai antibiotik (Neilands 1981). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa siderofor berpendarfluor kuning-kehijauan yang dihasilkan oleh pseudomonad pendarfluor disebut sebagai pseudobactin bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman (Neilands & Leong 1986; Leong 1986). Pigmen pendarfluor hijau-kekuningan larut dalam air, dikeluarkan oleh kebanyakan spesies Pseudomonas. Diantara spesies yang banyak diteliti sehubungan dengan pigmen ini adalah P. airuginosa, P. ovalis, P. mildenbergil, P. reptilivora, P. geniculata, P. calciprecipitans. Pengenalan terhadap pigmen ini tidak susah, terutama jika bakteri dikulturkan pada medium King's B (KB). Ciri-ciri sebagai pengeluar pigmen ini masih digunakan sebagai penanda taksonomi untuk identifikasi bakteri ini yang disebut sebagai bakteri Pseudomonas pendarfluor (Meyer et al. 1987).

Pseudobaktin akan dihasilkan Pseudononas B 10 jika dikulturkan pada medium stress besi. Penelitian menunjukkan bahwa pseudobactin hijau-kekuningan efektif menekan pertumbuhan E. carotovora, manakala pseudobactin merah-kecoklatan tidak menekan pertumbuhan E. carotovora. Menurut Kloepper et al. (1980) secara in vitro, pseudobactin menekan pertumbuhan karena pengikatan besi (III). Perlakuan tumbuhan umbi kentang dengan suspensi sel bekteri strain B 10 clan pseudoboktin menunjukkan pertambahan pertumbuhan yang berarti. Populasi jamur patogen parle sekitar akar juga menjadi berkurang karena perlakuan bakteri strain B 10 (2.3 unit pembentukan koloni (cfu) per 10 cm akar; atou berkurang 59 persen) dan dengan pcrlakuan pseudobaktin (1.4 cfu per 10 cm akar; atau berkurang 74 persen) berbanding perlakuan dengan air (5.5 cfu per 10 cm akar), sedangkan perlakuan bakteri mutan takberpendarfluor yang tidak menghasilkan siderofor tidak menekan pertumbuhan E. carotovora dan tidak pula menyebabkan pertambahan pertumbuhan pada umbi kentang walaupun bakteri mengkoloni akar tumbuhan (Kloepper et al. 1980). Hasil di atas menunjukkan bahwa pseudomonad pendarfluor berperan dalam mempercepat pertumbuhan karena siderofor yang dihasilkannya efisien mengikat besi (III) pada zon akar, menyebabkan besi (III) tidak tersedia bagi mikroorganisme rhizoplane termasuk mikroorganisme patogen tumbuhan (Leong 1986).

Menurut Neilands dan Leong (1986) mungkin semua pseudomonad pendarfluor dapat menghasilkan siderofor sejenis pseudobaktin yang masing-masing berbeda dalam hal jumlah dan susunan asam amino dalam rantai peptide. Pseudomonad pendarfluor banyak diteliti sehubungan dengan kemampuan bakteri ini sebagai perangsang pertumbuhan (Plant Growth Promoting Rhizobacteria=PGPR) dan menekan serangan penyakit yang disebabkan Fusarium oxysporum dan penyakit akar yang disebabkan Gaeumannomyces graminis. Mekanisme kerja PGPR diketahui sebagai senyawa yang berfungsi sebagai pemasok zat makanan, bersifat antibiosis, atau sebagai hormon pertumbuhan, atau penggabungan dari berbagai cara tersebut. Pseudomonad pendarfluor yang diisolasi dari tanah yang secara alami menekan pertumbuhan Fusarium juga menekan pertumbuhan Gaeumannomyces graminis var. tritici penyebab penyakit take-all (Wong & Baker 1984), penelitiannya membuktikan bahwa tidak hubungan antara hambatan antibiosis yang dihasilkan bakteri secara in vitro di atas agar dan hambatannya terhadap penyakit pada tanaman di dalam polibag.

Menurut Wong dan Baker (1984) hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme pengendalian patogen karena persaingan zat besi. Menurut Neilands dan Leong (1986) jamur-jamur patogen tidak menunjukkan kemampuan menghasilkan siderofor jenis yang sama dengan yang dihasilkan bakteri Pseudomonas spp. sehingga jamur patogen mengalami defisit unsur besi menyebabkan pertumbuhan patogen menjadi terhambat.

VI. POTENSI RHIZOBAKTERIA SEBAGAI AGEN HAYATI UNTUK BIOKONTROL JAMUR Fusarium sp.
Pengendalian hayati khususnya pada penyakit tumbuhan dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai dengan 1930 ketika pertama kali diperkenalkan antibiotik yang dihasilkan mikroorganisme tanah, tetapi beberapa percobaan belum berhasil sampai penelitian mengenai pengendalian hayati terhenti selama kurang lebih 20 tahun. Perhatian pakar penyakit tumbuhan terhadap metoda pengendalian hayati bangkit kembali ketika diadakan simposium internasional pengendalian hayati di Barkley pada tahun 1963. Sekarang ini sudah menjadi satu pengetahuan bahwa pengendalian hayati akan memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa akan datang (Hasanudin, 2003).

Menurut Istikorini (2002), mekanisme pengendalian hayati bisa terjadi melalui berbagai mekanisme, diantaranya :
  1. Antagonisme, Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh
  2. merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya. Hal ini biasanya terjadi ketika terjadi persaingan antar mikroorganisme dalam hal ruang hidup, nutrisi dan cekaman faktor lingkungan.
  3. ISR (Induced Systemic Resistance) atau Ketahanan terimbas, Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam 2-kloroetil fosfonat).
  4. Proteksi silang, Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo, pendinginan in vivo dan dengan asam nitrit. Biasanya mekanisme antagonisme dan ketahanan berimbas terjadi secara simultan, sehingga rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen secara langsung dan tidak langsung (Paul, 2007). Beberapa studi in vitro terkait mekanisme biofungisida melalui antagonisme telah banyak dilakukan. Menurut Haas and Devago (2005), Pseudomonas fluorescens dapat mengeluarkan senyawa antibiotik (antifungal), siderofor, dan metabolit sekunder lainnya yang sifatnya dapat menghambat aktivitas jamur Fusarium oxysporum. Senyawa siderofor, seperti pyoverdin atau pseudobacin diproduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang miskin ion Fe. Senyawa ini menghelat ion Fe sehingga tidak tersedia bagi mikroorganisme lain. Ion Fe sangat diperlukan oleh spora F. oxysporum untuk berkecambah. Dengan tidak tersedianya ion Fe maka infeksi F. oxysporum ke tanaman berkurang.

Sementara senyawa antibiotik yang dihasilkan antara lain :
phenazine-1-carboxylate, pyoluteorin, pyrrolnitrin, 2,4-diacetylphloroglucinol, phenazine-1-carboxyamide, pyocyanine, hidrogen cyanide dan viscosinamide (Haas, 2005; Adesina, 2007).

Seperti yang telah disebutkan di awal menurut Tilak et al. (2005) dan Botelho et al.(2006) , terdapat beberapa rhizobakteria yang secara in vitro terbukti memiliki aktivitas antifungal. Hasil-hasil penelitian terkait potensi rhizobakteria tersebut sebagai antifungal melaporkan bahwa beberapa bakteri dari genus Bacillus, seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus licheniformis, Bacillus megaterium dan Bacillus pumilus dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan pertumbuhan jamur Fusarium sp (El-Hamshary and Khattab, 2008:24; Huang et al., 2004:82).

Bakteri dari genus Bacillus dilaporkan dapat menghasilkan beberapa peptida yang berperan sebagai antibiotik dan antifungi, seperti: subtilin, subtilosin, mycobacillin, subsporin, ituirin, Cerexin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam sianida, fengycin dan bacilysocin (Katz and Demain, 1977:450; Tamehiro et al., 2002:315; Schaechter, 2004:127; Berkeley et al., 2002:227). Sintesis antibiotik pada Bacillus dikontrol oleh beberapa gen yang ekspresinya dikontrol sesuai dengan kondisi lingkungan tempat bakteri hidup (Schaechter, 2004:128). Bakteri ini mampu menghasilkan enzim degradatif makromolekul yang bisa menghancurkan dinding sel jamur, seperti protease (intraseluler) dan beberapa enzim yang disekresikan pada medium seperti levansukrase, _-glukanase, _-amilase, xilanase, kitinase dan protease (Kunst and Rapoport, 1995:2403; Schaechter, 2004:127). Dinding sel Fusarium sp tersusun atas 39% kitin, 29% glukan, 7% protein dan 6% lemak (Webster and Weber, 2007:5). Kandungan kitin pada dinding sel jamur Fusarium sp ini akan memicu pembentukan enzim degradatif oleh Bacillus.

VII. PENGEMBANGAN AGEN HAYATI SEBAGAI BIOFUNGISIDA JAMUR Fusarium sp. di INDONESIA
Memasuki pasar global, persyaratan produk- produk pertanian ramahlingkungan akan menjadi primadona. Persyaratan kualitas produk pertanian akan menjadi lebih ketat kaitannya dengan pemakaian pestisida sintetik. Pemanfaatan agen hayati sebagai biopestisida pengganti pestisida sintetik belum banyak dikembangkan di Indonesia. Pengembangan agen hayati sebagai pengendali fungi fitopatogen telah dilakukan di beberapa provinsi, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Provinsi Jawa Tengah misalnya, melakukan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian khususnya kentang dengan pemanfaatan agen hayati (biopestisida) sebagai pengganti pestisida sintetik untuk mengedalikan fungi Phytopthora infestans. Jamur ini dapat menyababkan Penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang merupakan penyakit penting dan endemik di sentra-sentra pertanaman kentang di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Wonosobo, Temanggung, Banjarnegara, dan Magelang).

Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah telah berhasil mengembangkan prototipe produk beberapa biofungisida yang ramah lingkungan, yaitu biofungisida trichodermin dan gliocladin yang bahan bakunya terdiri dari bahan aktif dari makhluk hidup berupa konidia beberapa jenis jamur isolat lokal (indigenous). Beberapa jenis jamur isolat lokal yang telah berhasil dikemas dan diaplikasikan sebagai bahan baku biofungisida tersebut adalah Trichoderma harzianum, Gliocladium sp dan Aspergillus niger (Purwantisari, 2008). Menurut data dari Balai Penelitian Tanaman Hias yang berada di Cianjur-Jawa Barat tahun 2004, rhizobakteria yang telah dikembangkan sebagai biofungisida di Jawa Barat khususnya antara lain: Bacillus subtilis, Bacillus polymyxa, Bacillus thuringiensis, Bacillus Pantotkenticus, Burkholderia cepacia dan Pseudomonas fluorescens. Pengembangan rhizobakteria sebagai agen antagonis penghambat pertumbuhan fitopatogen Fusarium sp. di Indonesia sendiri masih belum optimal.

Penggunaan rhizobakteria yang dilakukan baru sebatas tingkat daerah, belum sampai skala nasional. Hal ini sangat disayangkan, mengingat penggunaan rhizobakteria sebagai biofungisida dari hasil penelitian yang telah dilakukan terbukti efektif dalam mengendalikan fitopatogen.

DAFTAR PUSTAKA
Dewi I, R,. 2007. Bakteri pelarut fosfat (bpf). Fakultas pertanian universitas padjadjaran.
Jatinangoro

Aries pratomo, Sp, MSc. 2008. Perinsip pengendalian hayati.
Supriadi.2003. Analisis risiko agens hayati untuk pengendalian patogen pada tanaman. Balai penelitian tanaman rempah dan obat (bptro): bogor.

Balai Penelitian Tanaman Hias.(2004).Mikroba Antagonis Sebagai Agen Hayati Pengendali Penyakit Tanaman. BPTH: Cianjur.

Hasanudin. (2003). Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu. (Online). Tersedia :
http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-hasanuddin.pdf [Diakses tanggal 19 Mei 2010]

Sukorini. H. 2006. Pengaruh Mikroba antagonis terhadap penyakit-penyakit utama tanaman Apel Manalagi. Laporan penelitian. UMM

Juanda, i, f,. 2004. Potensi rhizobakteria sebagai agen biofungisida untuk Pengendalian jamur fitopatogen fusarium. Universitas pendidikan indonesia (upi). Bandung. Jawa barat
Read More...

Pengaruh El Nino Terhadap Kebakaran Hutan

El Nino adalah gangguan pada sistem atmosfer samudera di kawasan tropis Pasifik yang menyebabkan perubahan cuaca di bumi. Salah satu konsekuensinya adalah meningkatnya curah hujan di daerah selatan Amerika Serikat serta Peru yang menyebabkan banjir besar, serta kekeringan di Pasifik Barat, antara lain Indonesia dan Australia.

Pada kondisi normal, angin bertiup dari timur ke barat di daerah tropis Pasifik. Angin ini menghangatkan permukaan air kawasan Pasifik barat sehingga permukaan laut di Indonesia menjadi ½ meter lebih tinggi dari Ekuador. Suhu permukaan laut di kawasan barat Pasifik lebih tinggi 8°C daripada di Amerika Selatan. Perairan yang hangat menyebabkan terjadinya hujan di barat Pasifik, sementara timur Pasifik relatif kering.




Selama El Nino berlangsung, terjadi kenaikan pada suhu muka laut kawasan timur Pasifik. Angin berhembus dari barat ke timur, membawa banjir besar di Peru serta kekeringan di Indonesia dan Australia. Pemindahan massa panas ke arah timur di atas massa air hangat tersebut yang menyebabkan perubahan cuaca besar-besaran di kawasan-kawasan yang jauh dari daerah tropis Pasifik. Kejadian El Nino muncul secara acak selang 2-7 tahun walaupun biasanya kemunculannya antara 3-4 tahun sekali. Biasanya El Nino berlangsung antara 12-18 bulan.

Selain kita merasa kegerahan sepanjang hari, dampak El Nino pun dirasakan di dalam sektor kehidupan yang lain. Antaranya :

Coral bleching (Pemutihan terumbu karang)
Kebakaran hutan ada banyak penyebab kebakaran hutan, El Nino adalah salah satu di antaranya. Kekeringan yang disebabkan oleh El Nino mempermudah kebakaran hutan. Karena serasah yang ada cepat kering. Hal ini menyebabkan antara lain kebakaran hutan besar-besaran di Kalimantan dan Sumatra, Indonesia pada tahun 1997/98 yang lalu, walau sebenarnya penyebab utamanya adalah kegiatan manusia yang merusak seperti pembersihan lahan.

Penyu laut : Reptil laut purba ini juga mengalami akibat dari kenaikan suhu akibat El Nino. Di beberapa tempat dilaporkan penurunan tingkat penetasan telur penyu karena suhu yang terlalu panas. Selain itu terjadi perubahan rasio jenis kelamin tukik yang dihasilkan. Suhu yang lebih tinggi akan menghasilkan lebih banyak betina, sedangkan suhu yang lebih rendah menghasilkan lebih banyak jantan. Kenaikan suhu saat El Nino ini menghasilkan lebih banyak tukik betina daripada jantan.

Efek Rumah Kaca
Beberapa ahli menyatakan bahwa global warming sebagai akibat dari Rumah kaca berpengaruh besar. Apabila tidak diambil langkah-langkah untuk mengurangi global warming, maka kejadian EL NIÑO akan lebih sering dengan akibat yang lebih merugikan bagi masyarakat dunia.

Sinar matahari yang masuk ke atmosfir sebagian diteruskan ke bumi dan sebagian lagi dipantulkan. Asap pabrik dan asap kendaran bermotor yang dikeluarkan berkumpul di atmosfir (awan) sehingga dalam awan terkandung banyak CO2. Akibatnya Panas yang ada tertahan dan dipantulkan lagi ke bumi dan pemanasan oleh sinar matahari menambah temperatur bumi.
Read More...

Pengusahaan Hutan

Secara garis besar, bentuk pengusahaan hutan yang pernah dilakukan, khususnya di negara- negara maju, dari dulu sampai sekarang dapat dibedakan menjadi tiga atau empat macam (Simon, 1999), yaitu: 
(1) penambangan kayu, 
(2) pengelolaan hutan tanaman, 
(3) pengelolaan sumberdaya hutan, dan 
(4) pengelolaan ekosistem hutan.

A. Penambangan Kayu (Timber extraction)
1. Penambangan kayu di Lembah Eufrat dan Tigris
Penambangan kayu di daerah ini sudah dimulai dilakukan sekitar tahun 2000 SM, yaitu pada masa kerajaan Babylonia. Karena sudah berlangsung lama, maka sangat sedikit informasi yang tersedia untuk melukiskan lebih mendalam tentang penambangan kayu di Babylonia ini beserta kerusakan hutan yang ditimbulkannya.

Secara konvensional, kayu diperlukan untuk bahan konstruksi rumah, alat-alat pertanian dan alat transportasi darat maupun air. karena tidak diikuti dengan usaha permudaan kembali, maka timber extraction di Mesopotamia ini berakhir dengan kehancuran hutan.

2. Penambangan Kayu di Eropa Tengah dan Barat
Penambangan kayu di daerah ini mulai dilakukan sekitar abad ke-3, yaitu pada waktu kekaisaran Romawi mulai mengembangkan wilayah jajahannya ke seluruh Eropa Tengah dan Barat.

Untuk mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang baik, seperti yang dikehendaki oleh jiwa Undang-Undang itu, kemudian Perancis mendirikan sekolah kehutanan. Di sini barangkali pengeruh Universitas Al Hambra di Cordoba memang ada, karena banyak pula pemuda Perancis yang kemudian ikut menuntut ilmu ke Spanyol.

Setelah Ordonance de Melun pada 482 Kerajaan Inggris juga mengeluarkan Forest Act , yang kemudian disempurnakan lagi pada Tahun 1543 (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999). Pada periode berikutnya, pendidikan kehutanan lebih berkembang di Jerman. Akademi kehutanan di Tarrant dikenal sebagai sekolah tinggi kehutanan yang pertama di dunia. Oleh karena itu, secara konsepsional Jerman juga tampil menjadi negara yang berhasil memperbaiki kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa. Masalah ini akan dibahas lagi dalam paragraf-paragraf selanjutnya.

3. Penambangan Kayu di Indonesia
Penambangan kayu di Eropa dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal ini terulang lagi di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika latin sampai masa perang dunia II.

Di negara jajahan itu, para penjajah menguras sumberdaya apa saja yang dapat dijual dengan memperoleh kekayaan, termasuk hutan. Itu pulalah yang dilakukan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, penjajah bangsa Belanda juga sangat giat melakukan penambangan kayu.

B. Pengelolaan Kebun Kayu
Ciri-ciri system pengelolaan hutan dari Jerman tersebut adalah:
  • Pada umumnya merupakan hutan tanaman monokultur dengan system silvikultur tebang habis dan permudaan buatan.
  • Karena monokultur, maka untuk kesederhanaan dalam perencanaan digunakan konsep Kelas Perusahaan (Planning unit) yang sekaligus berlaku sebagai alat pengendali kelestarian hasil.
  • Satuan kelas perusahaan adalah unit perencanaan yang dinamakan Bagian Hutan, yang untuk hutan jati di Jawa luasnya berkisar antara 4.000 – 6.000 ha.
  • Untuk pengaturan hasil digunakan konsep daur tunggal. Pada mulanya daur tunggal itu ditetapkan dengan criteria teknik, tetapi kemudian diganti dengan daur financial setelah FAUSTMANN menemukan rumus perhitungan yang monumental pada tahun 1949.

Kekurangan-kekurangan system tersebut:
  • Tegakan monokultur rentan terhadap gangguan hama dan penyakit karena keragaman hayati menjadi sangat miskin sehingga ekosistem hutan tidak lagi stabil.
  • Fungsi perlindungan terhadap lingkungan berkurang banyak karena pembangunan hutan hanya ditekankan pada produktivitas kayu yang setinggi mungkin.
  • Tidak dapat memaksimumkan produktivitas kawasan hutan karena system pengelolaan seragam untuk areal yang relative luas (satu kelas perusahaan), tanpa memperhatikan ragam sifat fisik wilayah, pengaruh social ekonomi masyarakat, dan potensi pasar.
C. Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat di negara-negara maju, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara, sepanjang abad ke-18 dan 19.

Pada Kongres Kehutanan Dunia V denga tema Multiple Use of Forest Land dan Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978 dengan tema Forest for People, yang rimbawan telah menyadarinya dan memberi reaksi yang tepat terhadap perubahan tersebut. Sayangnya aplikasi konsep baru itu di lapangan sangat lambat sehingga selama periode itu, bahkan sampai sekarang, laju kerusakan hutan tersebut meningkat.

Dengan lahirnya istilah social forestry (kehutanan sosial) pada Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978, maka pengelolaan kebun kayu yang semula dianggap sebagai bentuk pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan kehutanan konvensional (conventional forestry). Dalam strategi pengelolaan hutan yang baru ini ada tiga perbedaan yang penting dibanding dengan sistem konvensional (kebun kayu), yaitu:
  • Tujuan pengelolaan hutan tidak hanya untuk menghasilkan kayu pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di tempat yang bervariasi menurut lokasi.
  • Orientasi pengelolaan hutan berubah dari kepentingan untuk memperoleh keuntungan financial bagi perusahaan ke kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan kawasan hutan.
  • Berbeda dengan pengelolaan kebun kayu yang berskala luas dengan konsep kelas perusahaan untuk satu bagian hutan sebagai unit, dalam strategi kehutanan social bentuk pengelolaan hutan beragam sesuai dengan sifat fisik wilayah mikro dan pengaruh sosial (management regiems), untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan. Satuan wilayah mikro yang diambil di sini adalah unit kegiatan tahunan, khususnya pekerjaan tanaman, yang pada hutan jati di jawa dapat diidentikkan dengan petak (compartment) dengan luas sekitar 30-40 ha saja.
Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya menghasilkan kayu pertukangan, melainkan hasil apa saja yang tersedia di tempat dan sesuai dengan kondisi fisik wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka bentuk pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Forest Resource Management).

Tujuan penerapan sistem pengelolaan yang beragam dalam bentuk berbagai regimes adalah untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi tanah dan lahan serta faktor lingkungan setempat yang mempengaruhinya. Kalau konsep kelas perusahaan dibandingkan dengan konsep Management Regimes, masing-masing mempunyai keuntungan dan kelemahan.

Keuntungan konsep Management regimes:
  • Karena polikultur, tegakan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit;
  • Tegakan polikultur berpengaruh lebih baik terhadap lingkungan, termasuk aspek hidro-orologi dan kehidupan satwa;
  • Hasil yang diperoleh dari hutan akan semakin beragam (diversifikasi) sehingga menguntungkan konsumen maupun produsen.
Kekurangan konsep Management regimes:
  • Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lebih sulit. Setiap daerah memerlukan rencana tersendiri disesuaikan dengan kondisi tersebut;
  •  Karena titik (1) di atas, maka diperlukan kualifkasi tenaga perencana maupun pengelola yang lebih baik;
  • Kalau rencana dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan kurang professional, keuntungan perusahaan justru menurun.
Keuntungan dan kelemahan konsep Kelas perusahaan merupakan kebalikan dari konsep Management Regimes tersebut.

D. Pengelolaan Ekosistem Hutan
Sesuai kodratnya, peranan pohon yang paling utama adalah untuk menjaga ekosistem permukaan planet bumi ini. Oleh karena itu, dengan semakin banyaknya jumlah penduduk serta produk teknologi, fungsi lindung akan menjadi lebih penting dibanding dengan fungsi ekonomi yang diharapkan dari hutan. Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil bahwa fungsi ekonomi akan berubah menjadi hasil sampingan (side products), sedang hasil utama yang diharapkan dari hutan adalah fungsi perlindungan lingkungan. Pada tahap ini, bentuk pengelolaan hutan akan berubah menjadi tingkatan yang sangat kompleks, yaitu Pengelolaan Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Management).




Dalam pengelolaan ekosistem hutan, kepentingan lingkungan hidup lebih diutamakan, sedangkan keuntungan finansial dipandang sebagai hasil sampingan saja. Oleh karena itu, untuk merancang pengelolaan ekosistem hutan diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat lengkap.

E. Evaluasi Pengelolaan Hutan
Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan tentang peranan hutan antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan ekonomi. Puncak perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya badan-badan internasional seperti ITTO (International Timber Tride Organization). Di samping terjadinya aksi boikot oleh masyarakat dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu yang ditebang dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan-aturan utuk membatasi laju pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil mendorong perbaikan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan di negara-negara sedang berkembang, khususnya yang memiliki hutan alam tropika.

F. Kehutanan Masyarakat (Community Forestry):
Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir
Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah sistem pengelolaan hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki. Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk dapat menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka, agar rakyat memperoleh keuntungan maksimum dari sumberdaya hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan (FAO, 1995).

Desmond F. D. (1996), mengemukakan bahwa kehutanan masyarakat adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang terpadu dengan system pertanian masyarakat. Definisi Desmond F. D. ini lebih radikal dibanding dengan definisi FAO (1995) karena menghilangkan pernyataan perlunya pihak lain memberikan advis dan input needed kepada masyarakat lokal. Namun demikian, kedua definisi tersebut mempunyai kesamaan yaitu tidak mempersoalkan status lahan (kawasan hutan atau bukan kawasan hutan), tetapi menekankan kepada siapa pengelolanya. Hal inilah yang membedakan konsep kehutanan masyarakat (community forestry) dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang digalakkan pemerintah Indonesia.

Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, kemudian direvisi lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999, dan revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari konsep kehutanan masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutannya.

Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan konsep kehutanan masyarakat adalah Program Social Forestry. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: PP.01/Menhut-11/2004 dijelaskan pengertian Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Program Social Forestry, dengan demikian, pada dasarnya berintikan kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa di dalam dan di sekitar hutan melalui suatu sistem pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan pengelolaan hutan. Program Social Forestry mengedepankan partisipasi masyarakat desa sebagai unsur utama dalam pengelolaan hutan.

Social Forestry mengandung makna yaitu rangkaian kegiatan pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua stakeholder terkait, serta memperhatikan prinsip-prinsip pengusahaan hutan. Forestry mengandung makna sebagai suatu tatanan sistem, sedangkan kata social mempunyai dimensi yang bermacam-macam, yaitu (Kartasubrata, J., 2003):

  1. sosial dalam artian konsep perhutanan sosial mendukung integrasi ekonomi, ekologi, dan kelestarian.
  2. sosial dalam hal keterpaduan dalam masyarakat. Fungsi kunci yang berhubungan dengan sumberdaya hutan seperti pengambilan keputusan, pengawasan, pengelolaan, investasi, dan pemanfaatan hasil tidak terkonsentrasi di tangan institusi pemerintah dan pemegang konsesi (swasta) saja, akan tetapi terdistribusi ke masyarakat.
  3. sosial dalam hal ditetapkan secara sosial, yang berarti situasional dan dinamis.
  4. sosial dalam hal suatu bentuk kehutanan yang menjadi acuan masyarakat secara politis, sosial, institusional, dan ekonomis.
Pada dasarnya istilah kehutanan masyarakat (community forestry) dan social forestry jika dikaitkan dengan latar belakang permasalahannya menunjukkan kesamaan maksud yaitu, (Alam, 2003):
  1. menggeser paradigma pembangunan kehutanan dari atas dan tersentralisasi menuju pembangunan kehutanan yang mengutamakan kontrol dan keputusan dari masyarakat lokal.
  2. Mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari pelindung hutan terhadap gangguan manusia menjadi bekerja bersama masyarakat.
Implementasi konsep kehutanan masyarakat di lapangan dijumpai dalam beberapa istilah yang merupakan varian dari konsep dasar kehutanan masyarakat, antara lain (Suhardjito, dkk., 2000):
  1. Collaborative Forest Management, adalah: pengelolaan kawasan hutan tertentu dengan pola kemitraan yang melibatkan berbagai stakeholders (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal).
  2. Co-management, sama dengan Collaborative Forest Management
  3. Joint Forest Management (JFM), adalah: kerangka manajemen hutan yang mendorong kemitraan antara Departemen Kehutanan dengan kelembagaan lokal dan anggota masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan untuk mengembangkan pola yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab terhadap sumberdaya hutan yang dikelola.
Read More...

Kebutuhan Air Tanaman




Kebutuhan air suatu tanaman dapat didefinisikan sebagai “jumlah air yang diperlukan untuk memenuhi kehilangan air melalui evapotranspirasi (ET-tanaman) tanaman yang sehat, tumbuh pada sebidang lahan yang luas dengan kondisi tanah yang tidak mempun­yai kendala (kendala lengas tanah dan kesuburan tanah) dan mencapai potensi produksi penuh pada kondisi lingkungan tumbuh tertentu”. Untuk menghitung ET-tanaman direkomendasikan suatu prosedur tiga tahap, yaitu:

(1). Pengaruh iklim terhadap kebutuhan air tanaman diberikan oleh ETo (evapotranspirasi tanaman referensi), yaitu “laju evapotranspirasi dari permukaan berumput luas setinggi 8-15 cm, rumput hijau yang tingginya seragam, tumbuh aktif, secara leng­kap menaungi permukaan tanah dan tidak kekurangan air”. Empat metode yang dapat digunakan adalah Blaney-Criddle, Radiasi, Penman dan Evaporasi Panci, dimodifikasi untuk menghitung ETo dengan menggunakan data iklim harian selama periode 10 atau 30 hari.

(2). Pengaruh karakteristik tanaman terhadap kebutuhan air tanaman diberikan oleh koefisien tanaman (kc) yang menyatakan hubungan antara ETo dan ET tanaman (ETtanaman = kc . ETo). Nilai-nilai kc beragam dengan jenis tanaman, fase pertumbuhan tanaman, musim pertumbuhan, dan kondisi cuaca yang ada.

(3). Pengaruh kondisi lokal dan praktek pertanian terhadap kebutuhan air tanaman, termasuk variasi lokal cuaca, tinggi tempat, ukuran petak lahan, adveksi angin, ketersediaan lengas lahan, salinitas, metode irigasi dan kultivasi tanaman.

Beberapa pendekatan dapat digunakan untuk perencanaan pemanfaatan sumberdaya air secara optimal dalam sistem produksi pertanian. Informasi pokok yang diperlukan adalah mengenai sumberdaya air, lahan dan tanaman. Khusus dalam kaitannya dengan pekarangan, maka informasi yang diperlukan adalah sumber­daya air (air hujan, air tanah dan air irigasi permukaan), sifat dari ciri tanah, dan syarat tumbuh berbagai tanaman pekarangan. Berdasarkan atas informasi ini maka baru dapat disusun alternatif sistem produksi pada lahan pekarangan. Beberapa parameter penting adalah:

(1). Pemilihan tanaman: beberapa faktor yang juga harus diper­timbangkan adalah jumlah air yang tersedia, kondisi tanah dan iklim, preferensi petani, kebutuhan tenagakerja dan modal, peluang pasar dan tingkat teknologi. Penyusunan pola tanam dilakukan sesuai dengan neraca lengas lahan.

(2). Intensitas pertanaman (Cropping intensity): seringkali intensitas ini bervariasi antar waktu (musim) dan lokasi lahan. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat investasi.

(3). Tingkat penyediaan air irigasi ditentukan oleh ketersediaan air irigasi, neraca lengas lahan, pola tanam dan intensitas pertanaman. Suplai air tersedia dapat dinyatakan sebagai: (a) kekurangan irigasi musiman tidak boleh melampaui 50% dari suplai air yang diperlukan selama satu tahun tertentu, (b) jumlah kekurangan irigasi tidak boleh melebihi 150% dari suplai air yang diperlukan dalam periode 25 tahun. Informasi sangat penting adalah periode-periode kapan kekurangan air sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tana­man.

(4). Metode irigasi: Pemilihan metode irigasi harus dilakukan pada awal periode perencanaan. Pertimbangannya meliputi inves­tasi, efisiensi penggunaan air, kemudahan penerapan, dan kesesu­aian dengan kondisi lokal, erodibilitas tanah, laju infiltrasi, salinitas air dan lainnya.

(5). Drainage dan pencucian. Drainase yang baik sangat diperlu­kan untuk menunjang keberhasilan program irigasi lahan pekaran­gan. Untuk menghindari akumulasi garam pada zone perakaran tanaman dan kemungkinan kerusakan tanaman yang diakibatkannya, maka kebutuhan pencucian harus ditentukan secara tepat.Sumber :

Bahan Kuliah M.K Manajemen Sumber Daya Air


Read More...

Survei dan Evaluasi Lahan

Survai adl uraian keseluruhan dari aktifitas dan proses termasuk didalam adl perumusan tujuan prosedur perencanaan komplikasi data dan ekstraksi informasi dalam bentuk peta laporan dan sebagai (Abdullah 1993).

Menurut Siswomartono (1989) survai tanah merupakan istilah umum utk penyelidikan tanah sistematik dilapangan di laboratorium deskripsi klasifikasi pemetaan jenis tanah penafsiran (interpretasi) tanah menurut kesesuaian tanah bagi tanaman rumput pohon serta perilaku tanah dibawah pemakaian atau perlakuan utk produktivitas dalam pengelolaan yg berbeda-beda.

Survai tanah dilakukan utk menentukan tingkat kemampuan lahan secara keseluruhan sebagai bahan pemetaan tanah dalam hubungan dgn penentuan klasifikasi tanah. Lahan-lahan yg telah disurvai digolongkan dala kelas-kelas yg sesuai dgn kemampuan berdasarkan dgn faktor-faktor yg bersifat menghambat dalam pemanfaatan lahan tersebut terutama utk bidang pertanian.

Faktor-faktor yg menunjang adl data-data mengenai sifat fisik kimia dan biologi tanah termasuk bentuk wilayah iklim dan lain-lain secara keseluruhan baik sampai sangat baik. Faktor-faktor penghambat seperti sifat-sifat fisik kimia dan biologi tanah yg jelek keadaan iklim yg tak sesuai bentuk wilayah berlereng dan berbukit-bukit sering terjadi genangan air serta salinitas yg tinggi.

Setelah melakukan kegiatan survai dan pemetaan sumber daya lahan di lapangan kegiatan selanjut adl mengevaluiasi lahan. Evaluasi lahan pada dasar merupakan proses utk menduga potensi sumber daya lahan utk berbagai penggunaan. Adapun kerangka yg mendasar dari evaluasi sumber daya lahan adl membandingkan persyaratan yg diperlukan utk suatu penggunaan lahan tertentu dgn sifat sumber daya yg ada pada lahan tersebut (Sitorus 1983).

Menurut CSR/FAO (1983) bahwa dalam evaluasi lahan sifat-sifat lingkungan fisik dan kimia suatu wilayah dirincikan dalam kualitas lahan dan tiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu karakteristik lahan yg umum memiliki hubungan satu sama lainnya. Karakteristik lahan adl sifat-sifat tanah yg dapat diukur atau diduga. Kualitas lahan adl sifat tanah yg kompleks dan berperan pada penggunaan lahan yg spesifik.


Read More...
  • Mahasiswa STMIK Duta Bangsa
  • description
  • description
  • description
  • description
  • description
  • description
  • description

Free Hosting

Free Hosting

My Blog List

A
B
C
     
D
E
F
DuGMp3    
G
H
I
Goo Otomotif HouseofScript  
J
K
L
Java Hotline    
M
N
O

My Games Collection

MeLangKah LeBih MaJu

   
P
Q
R
Pamella Decoration    
S
T
U
Studied WaLL    
V
W
X
     
Y
Z
0-9
     









Join....!


Free Domain

Free Domain

SiNyO. Powered by Blogger.