Secara garis besar, bentuk pengusahaan hutan yang pernah dilakukan, khususnya di negara- negara maju, dari dulu sampai sekarang dapat dibedakan menjadi tiga atau empat macam (Simon, 1999), yaitu:
(1) penambangan kayu,
(2) pengelolaan hutan tanaman,
(3) pengelolaan sumberdaya hutan, dan
(4) pengelolaan ekosistem hutan.
A. Penambangan Kayu (Timber extraction)
1. Penambangan kayu di Lembah Eufrat dan Tigris
Penambangan kayu di daerah ini sudah dimulai dilakukan sekitar tahun 2000 SM, yaitu pada masa kerajaan Babylonia. Karena sudah berlangsung lama, maka sangat sedikit informasi yang tersedia untuk melukiskan lebih mendalam tentang penambangan kayu di Babylonia ini beserta kerusakan hutan yang ditimbulkannya.
Secara konvensional, kayu diperlukan untuk bahan konstruksi rumah, alat-alat pertanian dan alat transportasi darat maupun air. karena tidak diikuti dengan usaha permudaan kembali, maka timber extraction di Mesopotamia ini berakhir dengan kehancuran hutan.
2. Penambangan Kayu di Eropa Tengah dan Barat
Penambangan kayu di daerah ini mulai dilakukan sekitar abad ke-3, yaitu pada waktu kekaisaran Romawi mulai mengembangkan wilayah jajahannya ke seluruh Eropa Tengah dan Barat.
Untuk mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang baik, seperti yang dikehendaki oleh jiwa Undang-Undang itu, kemudian Perancis mendirikan sekolah kehutanan. Di sini barangkali pengeruh Universitas Al Hambra di Cordoba memang ada, karena banyak pula pemuda Perancis yang kemudian ikut menuntut ilmu ke Spanyol.
Setelah Ordonance de Melun pada 482 Kerajaan Inggris juga mengeluarkan Forest Act , yang kemudian disempurnakan lagi pada Tahun 1543 (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999). Pada periode berikutnya, pendidikan kehutanan lebih berkembang di Jerman. Akademi kehutanan di Tarrant dikenal sebagai sekolah tinggi kehutanan yang pertama di dunia. Oleh karena itu, secara konsepsional Jerman juga tampil menjadi negara yang berhasil memperbaiki kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa. Masalah ini akan dibahas lagi dalam paragraf-paragraf selanjutnya.
3. Penambangan Kayu di Indonesia
Penambangan kayu di Eropa dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal ini terulang lagi di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika latin sampai masa perang dunia II.
Di negara jajahan itu, para penjajah menguras sumberdaya apa saja yang dapat dijual dengan memperoleh kekayaan, termasuk hutan. Itu pulalah yang dilakukan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, penjajah bangsa Belanda juga sangat giat melakukan penambangan kayu.
B. Pengelolaan Kebun Kayu
Ciri-ciri system pengelolaan hutan dari Jerman tersebut adalah:
- Pada umumnya merupakan hutan tanaman monokultur dengan system silvikultur tebang habis dan permudaan buatan.
- Karena monokultur, maka untuk kesederhanaan dalam perencanaan digunakan konsep Kelas Perusahaan (Planning unit) yang sekaligus berlaku sebagai alat pengendali kelestarian hasil.
- Satuan kelas perusahaan adalah unit perencanaan yang dinamakan Bagian Hutan, yang untuk hutan jati di Jawa luasnya berkisar antara 4.000 – 6.000 ha.
- Untuk pengaturan hasil digunakan konsep daur tunggal. Pada mulanya daur tunggal itu ditetapkan dengan criteria teknik, tetapi kemudian diganti dengan daur financial setelah FAUSTMANN menemukan rumus perhitungan yang monumental pada tahun 1949.
Kekurangan-kekurangan system tersebut:
- Tegakan monokultur rentan terhadap gangguan hama dan penyakit karena keragaman hayati menjadi sangat miskin sehingga ekosistem hutan tidak lagi stabil.
- Fungsi perlindungan terhadap lingkungan berkurang banyak karena pembangunan hutan hanya ditekankan pada produktivitas kayu yang setinggi mungkin.
- Tidak dapat memaksimumkan produktivitas kawasan hutan karena system pengelolaan seragam untuk areal yang relative luas (satu kelas perusahaan), tanpa memperhatikan ragam sifat fisik wilayah, pengaruh social ekonomi masyarakat, dan potensi pasar.
C. Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat di negara-negara maju, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara, sepanjang abad ke-18 dan 19.
Pada Kongres Kehutanan Dunia V denga tema Multiple Use of Forest Land dan Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978 dengan tema Forest for People, yang rimbawan telah menyadarinya dan memberi reaksi yang tepat terhadap perubahan tersebut. Sayangnya aplikasi konsep baru itu di lapangan sangat lambat sehingga selama periode itu, bahkan sampai sekarang, laju kerusakan hutan tersebut meningkat.
Dengan lahirnya istilah social forestry (kehutanan sosial) pada Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978, maka pengelolaan kebun kayu yang semula dianggap sebagai bentuk pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan kehutanan konvensional (conventional forestry). Dalam strategi pengelolaan hutan yang baru ini ada tiga perbedaan yang penting dibanding dengan sistem konvensional (kebun kayu), yaitu:
- Tujuan pengelolaan hutan tidak hanya untuk menghasilkan kayu pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di tempat yang bervariasi menurut lokasi.
- Orientasi pengelolaan hutan berubah dari kepentingan untuk memperoleh keuntungan financial bagi perusahaan ke kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan kawasan hutan.
- Berbeda dengan pengelolaan kebun kayu yang berskala luas dengan konsep kelas perusahaan untuk satu bagian hutan sebagai unit, dalam strategi kehutanan social bentuk pengelolaan hutan beragam sesuai dengan sifat fisik wilayah mikro dan pengaruh sosial (management regiems), untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan. Satuan wilayah mikro yang diambil di sini adalah unit kegiatan tahunan, khususnya pekerjaan tanaman, yang pada hutan jati di jawa dapat diidentikkan dengan petak (compartment) dengan luas sekitar 30-40 ha saja.
Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya menghasilkan kayu pertukangan, melainkan hasil apa saja yang tersedia di tempat dan sesuai dengan kondisi fisik wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka bentuk pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Forest Resource Management).
Tujuan penerapan sistem pengelolaan yang beragam dalam bentuk berbagai regimes adalah untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi tanah dan lahan serta faktor lingkungan setempat yang mempengaruhinya. Kalau konsep kelas perusahaan dibandingkan dengan konsep Management Regimes, masing-masing mempunyai keuntungan dan kelemahan.
Keuntungan konsep Management regimes:
- Karena polikultur, tegakan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit;
- Tegakan polikultur berpengaruh lebih baik terhadap lingkungan, termasuk aspek hidro-orologi dan kehidupan satwa;
- Hasil yang diperoleh dari hutan akan semakin beragam (diversifikasi) sehingga menguntungkan konsumen maupun produsen.
Kekurangan konsep Management regimes:
- Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lebih sulit. Setiap daerah memerlukan rencana tersendiri disesuaikan dengan kondisi tersebut;
- Karena titik (1) di atas, maka diperlukan kualifkasi tenaga perencana maupun pengelola yang lebih baik;
- Kalau rencana dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan kurang professional, keuntungan perusahaan justru menurun.
Keuntungan dan kelemahan konsep Kelas perusahaan merupakan kebalikan dari konsep Management Regimes tersebut.
D. Pengelolaan Ekosistem Hutan
Sesuai kodratnya, peranan pohon yang paling utama adalah untuk menjaga ekosistem permukaan planet bumi ini. Oleh karena itu, dengan semakin banyaknya jumlah penduduk serta produk teknologi, fungsi lindung akan menjadi lebih penting dibanding dengan fungsi ekonomi yang diharapkan dari hutan. Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil bahwa fungsi ekonomi akan berubah menjadi hasil sampingan (side products), sedang hasil utama yang diharapkan dari hutan adalah fungsi perlindungan lingkungan. Pada tahap ini, bentuk pengelolaan hutan akan berubah menjadi tingkatan yang sangat kompleks, yaitu Pengelolaan Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Management).
Dalam pengelolaan ekosistem hutan, kepentingan lingkungan hidup lebih diutamakan, sedangkan keuntungan finansial dipandang sebagai hasil sampingan saja. Oleh karena itu, untuk merancang pengelolaan ekosistem hutan diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat lengkap.
E. Evaluasi Pengelolaan Hutan
Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan tentang peranan hutan antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan ekonomi. Puncak perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya badan-badan internasional seperti ITTO (International Timber Tride Organization). Di samping terjadinya aksi boikot oleh masyarakat dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu yang ditebang dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan-aturan utuk membatasi laju pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil mendorong perbaikan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan di negara-negara sedang berkembang, khususnya yang memiliki hutan alam tropika.
F. Kehutanan Masyarakat (Community Forestry):
Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir
Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah sistem pengelolaan hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki. Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk dapat menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka, agar rakyat memperoleh keuntungan maksimum dari sumberdaya hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan (FAO, 1995).
Desmond F. D. (1996), mengemukakan bahwa kehutanan masyarakat adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang terpadu dengan system pertanian masyarakat. Definisi Desmond F. D. ini lebih radikal dibanding dengan definisi FAO (1995) karena menghilangkan pernyataan perlunya pihak lain memberikan advis dan input needed kepada masyarakat lokal. Namun demikian, kedua definisi tersebut mempunyai kesamaan yaitu tidak mempersoalkan status lahan (kawasan hutan atau bukan kawasan hutan), tetapi menekankan kepada siapa pengelolanya. Hal inilah yang membedakan konsep kehutanan masyarakat (community forestry) dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang digalakkan pemerintah Indonesia.
Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, kemudian direvisi lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999, dan revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari konsep kehutanan masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutannya.
Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan konsep kehutanan masyarakat adalah Program Social Forestry. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: PP.01/Menhut-11/2004 dijelaskan pengertian Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Program Social Forestry, dengan demikian, pada dasarnya berintikan kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa di dalam dan di sekitar hutan melalui suatu sistem pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan pengelolaan hutan. Program Social Forestry mengedepankan partisipasi masyarakat desa sebagai unsur utama dalam pengelolaan hutan.
Social Forestry mengandung makna yaitu rangkaian kegiatan pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua stakeholder terkait, serta memperhatikan prinsip-prinsip pengusahaan hutan. Forestry mengandung makna sebagai suatu tatanan sistem, sedangkan kata social mempunyai dimensi yang bermacam-macam, yaitu (Kartasubrata, J., 2003):
- sosial dalam artian konsep perhutanan sosial mendukung integrasi ekonomi, ekologi, dan kelestarian.
- sosial dalam hal keterpaduan dalam masyarakat. Fungsi kunci yang berhubungan dengan sumberdaya hutan seperti pengambilan keputusan, pengawasan, pengelolaan, investasi, dan pemanfaatan hasil tidak terkonsentrasi di tangan institusi pemerintah dan pemegang konsesi (swasta) saja, akan tetapi terdistribusi ke masyarakat.
- sosial dalam hal ditetapkan secara sosial, yang berarti situasional dan dinamis.
- sosial dalam hal suatu bentuk kehutanan yang menjadi acuan masyarakat secara politis, sosial, institusional, dan ekonomis.
Pada dasarnya istilah kehutanan masyarakat (community forestry) dan social forestry jika dikaitkan dengan latar belakang permasalahannya menunjukkan kesamaan maksud yaitu, (Alam, 2003):
- menggeser paradigma pembangunan kehutanan dari atas dan tersentralisasi menuju pembangunan kehutanan yang mengutamakan kontrol dan keputusan dari masyarakat lokal.
- Mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari pelindung hutan terhadap gangguan manusia menjadi bekerja bersama masyarakat.
Implementasi konsep kehutanan masyarakat di lapangan dijumpai dalam beberapa istilah yang merupakan varian dari konsep dasar kehutanan masyarakat, antara lain (Suhardjito, dkk., 2000):
- Collaborative Forest Management, adalah: pengelolaan kawasan hutan tertentu dengan pola kemitraan yang melibatkan berbagai stakeholders (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal).
- Co-management, sama dengan Collaborative Forest Management
- Joint Forest Management (JFM), adalah: kerangka manajemen hutan yang mendorong kemitraan antara Departemen Kehutanan dengan kelembagaan lokal dan anggota masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan untuk mengembangkan pola yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab terhadap sumberdaya hutan yang dikelola.
0 komentar:
Post a Comment